Grace and Truth

This website is under construction !

Search in "Indonesian":

Home -- Indonesian -- 04. Sira -- 1 Muhammad before the rise of Islam

This page in: -- Chinese -- English -- French -- German -- INDONESIAN -- Portuguese -- Russian -- Uzbek

Next book

04. KEHIDUPAN MUHAMMAD MENURUT IBN HISHAM

1 - MUHAMMAD SEBELUM KEBANGKITAN ISLAM -- (570 sampai 610 M)

Leluhur Muhammad -- Kelahiran dan masa kecil Muhammad -- Pernikahan Muhammad dan Khadija



1.01 -- MUHAMMAD SEBELUM KEBANGKITAN ISLAM -- (570 sampai 610 M)

menurut Muhammad Ibn Ishaq (meninggal 767 M) disunting oleh Abd al-Malik Ibn Hischam (meninggal 834 M)

Sebuah terjemahan yang disunting dari bahasa Arab, tulisan asli oleh Alfred Guillaume

Sebuah kumpulan dengan keterangan oleh Abd al-Masih dan Salam Falaki

1.02 -- Kata Pengantar

Muhammad adalah sosok individu yang sangat berpengaruh dan signifikan dalam sejarah dunia setelah Yesus Kristus. Lebih dari 1.5 Milyar Muslim, atau sekitar 19-20 persen dari populasi dunia, mengikutinya dan agama yang ia ciptakan. Islam menciptakan dan membentuk sebuah tradisi yang sekarang berusia 1390 tahun. Dari Indonesia ke Maroko, dari stepa Rusia ke Cape Town, nama Muhammad diserukan, hari lepas hari, 40 kali sehari, dari atas atap kota-kota dan desa-desa. Tidak ada orang lain yang begitu dicintai dengan begitu fanatiknya oleh jutaan orang seperti mereka mencintai dia.

Sedikit orang Kristen yang memiliki informasi akurat tentang kehidupan Muhammad. Untuk alasan itulah kami menerjemahkan kembali biografi ini ke dalam bahasa Jerman yang diikuti dengan terjemahan bahasa Inggris (dan Indonesia).

Ibn Ishaq, seorang sarjana Islam, mulai mengumpulkan cerita-cerita dan legenda-legenda terkenal mengenai nabi bangsa Arab sekitar 90 tahun setelah kematian Muhammad (632 M). Tetapi dia segera menemui konflik dengan otoritas agama dan hukum di Medina (Malik ibn Anas), meninggalkan negara asalnya dan pergi ke Baghdad melewati Kairo. Di sana, di bawah kekalifahan al-Mansur, ia melanjutkan penelitiannya. Ia meninggal pada tahun 767 M.

Ibn Ishaq meninggalkan dua karya luar biasa mengenai riwayat hidup Muhammad, yang kemudian disimpulkan dan diringkas dengan hati-hati oleh Ibn Hischam, yang meninggal pada tahun 834 M. Sampai hari ini karyanya dianggap sebagai sebuah sumber yang sangat penting bagi setiap orang yang ingin mempelajari narasi dan kisah yang diturunkan oleh saksi mata dan sahabat Muhammad.

Pekerjaan dokumenter Ibn Hisham tentang hidup Muhammad diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dari bahasa Arab pada tahun 1864 oleh Professor Gustav Weil. Kami telah merevisi terjemahan tersebut dan memperbaharui gaya dan ejaan dari istilah-istilah dan nama-nama Arabik (dengan pengecualian terhadap nama Muhamad, Muslim, dll.). Revisi ini kemudian dibandingkan lagi dengan teks asli berbahasa Arab. Dengan berpedoman pada teks asli, maka nama dari surah-surah, dan nomor-nomor ayat, ditambahkan pada teks Quranik yang banyak dikutip. Penomoran ayat mengikuti pengaturan dari Universitas al-Azhar di Kairo.

Karena catatan kejadian-kejadian di dalam hidup Muhammad yang panjang lebar harus dapat dimengerti di zaman pesawat terbang, bom atom dan televisi, kami memilih untuk menghilangkan silsilah yang melelahkan dari pendahuluan. Oleh sebab itu, buku ini dimulai dengan catatan tentang Abd al-Muttalib, kakek Muhammad. Sejumlah puisi dan madah berbahasa Arab yang kehilangan nada dan ritme dalam bahasa Inggris, diskusi tentang asal mula sebuah ekspresi dalam tata bahasa, serta legenda dan sejarah yang diragukan kebenarannya, dihilangkan supaya pribadi Muhammad menjadi lebih menonjol dan kejadian-kejadian dalam kehidupannya menjadi lebih jelas.

Catatan-catatan kaki yang ditambahkan merupakan penjelasan-penjelasan atau keterangan yang menerangkan pertentangannya terhadap kejadian-kejadian serupa di dalam kehidupan Yesus Kristus dan fondasi Injil-Nya. Oleh karena itu, Muhammad diukur berdasarkan kehidupan Yesus – seorang nabi yang digambarkan Muslim bertentangan dengan Perjanjian Baru.

Dua teks bagian awal mencatat masa muda Muhammad dan dua belas tahun pertama ia menyampaikan pesan di bawah penganiayaan yang meningkat di Mekkah. Bagian ketiga mencakup migrasi Muhammad ke Medina, pembentukan kota-negara agama, pertempuran melawan pedagang-pedagang dari Mekah dan penaklukan kota tempat ia berasal. Bagian ini kemudian menjelaskan penaklukan dan Islamisasi di semenanjung Arab hingga waktu kematian Muhammad.

Sang Pendiri Islam meninggalkan pasukan Beduin yang bersemangat tinggi dan teruji dalam pertempuran, serta dipimpin oleh dua komandan militer yang cemerlang. Hanya dalam waktu 100 tahun pasukan mereka menaklukkan tanah dari Atlas sampai Indus, sebuah area yang lebih luas daripada yang pernah dimiliki oleh banga Eropa. Hari ini penduduk di negara-negara inti Islam ini berjumlah lebih dari 95% Muslim, dimana orang Yahudi dan Kristen seringkali hanya dianggap sebagai warga negara kelas dua.

Dengan ditemukannya minyak di wilayah Teluk sekitar tahun 1930 dan peningkatan harga minyak sejak 1973, kebangkitan Islam mendapat kekuatan baru. Muslim memiliki tujuan untuk melakukan Islamisasi di seluruh dunia, entah melalui misi, kekuatan ekonomi atau Perang Suci. Di atas segalanya, Islam berkembang melalui angka kelahiran yang tinggi, sehingga negara-negara Islam menggandakan populasi setiap 30 tahun. Oleh sebab itu mereka bertumbuh lebih cepat dari agama dan kelompok manusia manapun di bumi ini.

Oleh karena itu, sangat penting bagi orang-orang Kristen untuk memiliki pemikiran yang bertanggung jawab untuk mempelajari kehidupan Muhammad dan membandingkannya dengan kehidupan Yesus Kristus. Kita hanya dapat mengerti Muslim dan prinsip-prinsip yang dianut mereka ketika kita telah mengerti Muhammad, motivasi-motivasi dan perbuatan-perbuatanya.

Abd al-Masih

BAGIAN I - Masa Jahiliyah

1.03 -- Leluhur Muhammad

1.03.1 -- Abd al-Muttalib – kakek dari Muhammad

Suatu hari ketika Abd al-Muttalib ibn* Hisham sedang tidur, dalam sebuah penampakan dia diperintahkan untuk kembali menggali sumur. Sebelumnya Suku Jurhum telah mengisi sumur itu ketika mereka meninggalkan Mekah.

* “Ibn”, yang diterjemahkan berarti: Anak dari …

Sumur ini adalah sumur yang sama di mana Allah pernah satu kali mengijinkan Ismael untuk meminum airnya ketika ia masih kecil dan haus. Ibunya telah mencari air dan tidak menemukannya. Ia berdiri di bukit Safa dan berdoa untuk air bagi Ismael. Di bukit Marwah, dia kembali berdoa untuk air. Kemudian Allah mengirimkan Malaikat Jibril. Ia menekan salah satu tumit Ismael ke tanah – dan keluarlah air! Ibunya mendengar tangisan binatang-binatang liar. Dia merasa ketakutan atas hidup Ismael, ia berlari dan mendapatinya berbaring dengan wajah di atas tanah, menyendok air dengan tangannya dan minum. Ia kemudian membersihkan sumur itu dari pasir.*

* Bandingkan Kejadian 21:9-21 (Pengusiran Hagar and Ismael).

1.03.2 -- Sengketa atas sumur Zamzam di Mekah

Suatu hari ketika Abd al-Muttalib sedang tidur di tempat suci, ia menerima sebuah penglihatan, di mana ia diperintahkan untuk menggali sumur Zamzam. Ia menjelaskan pengalamannya sebagai berikut: “Ketika aku tertidur pada dinding dari tempat suci, seseorang menghampiriku dan berkata: ‘Galilah Tayba (yang baik itu). Aku bertanya: ‘Apakah Tayba itu?’, lalu penglihatan tersebut menghilang. Di hari berikutnya, selagi aku tertidur di perkemahanku, penglihatan tersebut datang lagi dan berkata: ‘Galilah Barra’ (yang suci)! Aku bertanya: ‘Apakah Barra itu?’ Penglihatan itu kembali meninggalkanku. Pada hari yang ketiga kembali hantu itu muncul lagi, dengan kata-kata: ‘Galilah al-Madnuna!’ (yang berharga) Aku bertanya: ‘Apakah Madnuna itu?’ Kembali penglihatan tersebut hilang. Pada hari yang keempat muncul di hadapanku seseorang yang berkata: ‘Galilah Zamzam.” Aku bertanya: ‘Apakah Zamzam itu?’ Aku mendapatkan jawabannya: ‘Yang tidak pernah lelah dan kehabisan air, yang memberi minum bagi peziarah-peziarah yang mulia. Letaknya di antara kotoran dan darah, dekat dengan suara gagak yang keras, disamping sarang semut.’

Oleh karena itu Abd al-Muttalib, tanpa meragukan kebenaran pesan yang ia terima, dan telah mendengar kata-kata tentang kondisi dan lokasi sumur yang dekat tersebut, pada hari berikutnya ia mulai menggali sumur itu dengan menggunakan kapak. Al-Harith – yang pada saat itu adalah anak tunggalnya, ikut menemani.

Ketika sumur tersebut perlahan-lahan mulai kelihatan, ia mulai memuji Allah. Saat itulah suku Quraish bergegas menuju situs tersebut. Mereka menyaksikan bahwa usahanya berhasil dan kemudian berkata: “Sumur ini adalah milik dari moyang kami Ismael. Kami memiliki ritual kuno yang menyatakannya. Oleh sebab itu engkau harus memberikan bagian kami.” Abd al-Muttalib menolak dan menanggapi: “Bagiku telah diberikan! Sumur ini milikku sendiri!” Mereka menanggapi: “Berikanlah kepada kami hak kami, atau kami akan menuntut engkau!”

“Baik, pilihlah seorang wasit!” Mereka memilih seorang wanita peramal nasib dari suku Sa'd Hudham, yang menghuni dataran tinggi Suriah. Abd al-Muttalib berkendara menjumpainya, ditemani oleh beberapa orang anak dari Abd Manaf. Suku Quraish juga mengirim utusan-utusan dari setiap suku. Ketika mereka tiba di wilayah padang gurun di antara Hijaz dan Suriah, Abd al-Muttalib kehabisan air. Ia dan pengikutnya hampir meninggal karena kehausan. Mereka meminta air kepada utusan-utusan Quraish yang menolak permintaan mereka sambil berkata: “Kita berada di padang gurun. Hal yang sama bisa terjadi pada kami sama seperti yang terjadi padamu.” Abd al-Muttalib kemudian berdiskusi dengan para pengikutnya tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka menjawab: “Engkau yang harus memberi perintah. Yang dapat kami lakukan hanyalah menaatimu.” Ia kemudian menjawab: “Pendapatku adalah bahwa setiap kita, selama ia masih memiliki tenaga, menggali kuburannya sendiri. Ketika seorang dari kita meninggal, mereka yang masih hidup dapat memasukkannya ke dalam kubur dan menguburkan dia, sampai kematian menghampiri orang yang terakhir. Sebenarnya lebih baik jika hanya kita saja yang mati daripada keseluruhan kafilah.” Pengikutnya setuju dengan pendapatnya. Setiap orang menggali kuburnya dan menantikan kematian untuk datang. Kemudian Abd al-Muttalib tiba-tiba berkata: “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah kelemahan kita jika kita dengan malas menyerahkan diri kita kepada kematian dan bahkan tidak mencoba untuk menyelamatkan nyawa kita. Mungkin Allah akan menunjukkan kepada kita air di suatu tempat. Bangkitlah!” Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, dengan diperhatikan oleh suku Quraish.

Abd al-Muttalib menaiki untanya dan berkendara ke depan rombongan. Segera mereka menjumpai air segar di bawah kuku untanya. Abd al-Muttalib dan pengikutnya mulai memuji Allah, lalu turun dari unta, minum dan mengisi tempat air mereka yang terbuat dari kulit. Kemudian Abd al-Muttalib memanggil suku Quraish yang tersisa untuk datang ke mata air yang baru muncul tersebut, dan berkata: “Allah telah memberikan kita air. Engkau juga, minumlah dan isi wadahmu!” Ketika mereka telah selesai minum, mereka berkata: “Demi Allah, keputusanNya telah jatuh melawan kita. Kita tidak akan berselisih lagi denganmu atas Zamzam, karena ia yang memberikan kepadamu air di padang gurun juga telah memberikan kepadamu Zamzam. Kembalilah dan berikan kepada para peziarah air untuk diminum.” Kemudian Abd al-Muttalib kembali ke Mekah bersama semua pengikutnya, tanpa memanggil peramal nasib tersebut.

1.03.3 -- Sumpah Abd al-Muttalib

Diduga – dan hanya Allah sendiri yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi – bahwa ketika Abd al-Muttalib sedang menggali sumur Zamzam, ia diperlakukan dengan penuh kebencian oleh suku Quraish. Kemudian ia membuat sumpah berikut ini: bila sepuluh orang anak laki-laki dilahirkan baginya dan mereka mencapai usia dimana mereka mampu untuk berdiri bersama dia, dia kemudian akan mengambil satu dari antara mereka dan mengorbankannya kepada Allah di Kabah.*

* Kebiasaan mengorbankan anak kecil ini adalah sebuah praktek orang kafir kuno (bandingkan Hakim-hakim 11:30-40).

Ketika di kemudian hari ia mendapatkan sepuluh orang anak yang mencapai usia di mana mereka mampu melindungi diri mereka sendiri, dia memberitahu mereka mengenai sumpahnya. Ia kemudian meminta mereka untuk tunduk dan mengabulkannya. Mereka bersedia memenuhi permintaan tersebut dan bertanya bagaimana mereka dapat melaksanakannya. Dia menjawab: “Biarlah masing-masing menuliskan namanya pada sebuah panah dan memberikannya kepadaku.” Dengan panah-panah ini ia kemudian menghampiri berhala Hubal, yang didirikan di samping sebuah sumur di tengah-tengah Kabah. Di sanalah pengorbanan altar suci diberikan. Hubal memiliki tujuh buah panah. Diatasnya terdapat tulisan inskripsi. Sebuah panah ditandai “penebusan dosa”. Jika tidak didapati sebuah konsensus/kesepakatan siapa yang harus membayar penebusan dosa tersebut, maka siapapun yang mengundi panah tersebut harus membayar penebusan dosa tersebut. Pada panah yang kedua tertulis “ya” dan yang ketiga tertulis kata “tidak”. Jika seseorang berada dalam keraguan tentang apakah ia harus melakukan sesuatu atau tidak, maka panah dengan “ya” atau “tidak” yang memutuskan. Juga terdapat sebuah panah yang padanya tertulis “air”. Jika panah tersebut terundi, maka orang tersebut harus menggali sebuah sumur. Akhirnya terdapat tiga buah panah. Yang satunya terdapat tulisan “bagian dari kamu”, yang lainnya “yang tersisa”, dan pada yang ketiga terdapat tulisan “bukan bagian dari kamu”. Jika suku Bedouin (Arab) ingin melaksanakan sunat, pernikahan atau menguburkan orang mati, mereka kemudian membawanya kepada Hubal dan membayar 100 dirham kepada pengambil undi, dan juga menyediakan seekor unta untuk dikorbankan. Kemudian mereka berkata, seraya meletakkan orang yang dipertanyakan tersebut di hadapan Hubal: “Engkau, allah kami, disini berdiri orang asing, yang mengenainya kami ingin mengetahui tentang hal ini dan itu. Beritahukanlah kepada kami kebenaran tentang dia!”

Kemudian mereka pun mengambil undi. Jika panah yang terundi adalah “bagian dari kamu”, orang asing tersebut akan dihitung sebagai bagian dari mereka. Jika panah yang bertanda “bukan bagian dari kamu” yang terundi, dia dianggap sebagai sekutu. Akan tetapi, jika panah dengan kata “yang tersisa” yang terundi, pria tersebut harus tetap berada dalam kondisinya yang terdahulu, tanpa klaim sebagai seorang sekutu ataupun yang berhubungan darah. Di dalam kasus lainnya, jika sebuah jawaban “ya” atau “tidak” yang diharapkan, mereka bertindak dengan sesuai, walaupun ketika sebuah panah dengan “tidak” yang terundi, mereka akan menunda masalah tersebut sampai tahun depan, agar mereka akhirnya dapat melaksanakan apa yang diputuskan berdasarkan undian tersebut.

Abd al-Muttalib pergi kepada peramal nasib, yang mengundi panah-panah tersebut, dan memberitahukan tentang sumpahnya tersebut. Setiap anak laki-lakinya telah memberikan kepadanya sebuah panah dengan tulisan nama mereka sendiri. Sang ayah lalu memanggil pria tersebut untuk mengundi salah satu dari panah tersebut. Undian tersebut jatuh pada Abdullah, ayah dari rasul Allah. Dia adalah anak kesayangan dari Abd al-Muttalib dan terlebih lagi adalah yang termuda. Dengan jatuhnya undian kepada Abdullah, Abd al-Muttalib mengambil pedangnya dan pergi membawa Abdullah kepada berhala “Isaf and Naila”, untuk mempersembahkannya di situ. Kemudian suku Quraish serentak keluar dari tempat berkumpul mereka dan berseru: “Apa yang hendak engkau lakukan, Abd al-Muttalib?” “Aku hendak menyembelih dia dengan menggorok tenggorokannya!”*

* Bandingkan Kejadian 22:1-19. Ishak, juga, hendak dikorbankan.

Mendengar hal tersebut semua anak laki-lakinya dan suku Quraish menjawab: “Demi Allah, engkau tidak dapat mengorbankan dia tanpa alasan. Jika engkau melakukan hal itu, maka setiap pria akan datang dan mengorbankan anak laki-lakinya. Lalu bagaimana suku ini dapat dipertahankan? Di sana juga berbicara al-Mughira ibn Abd Allah, salah seorang paman dari Abdullah, yang berkata: “Demi Allah, engkau tidak akan mengorbankan dia sampai engkau memberikan alasan yang memuaskan kepada kami. Kami lebih baik menebus dia dengan harta milik kami.”

Pada titik ini semua anak laki-lakinya dan seluruh suku Quraish membalas: “Jangan lakukan! Pergilah bersamanya ke Hijaz. Di sana hidup seorang peramal nasib perempuan, yang memiliki roh yang menaatinya. Bertanyalah kepadanya, maka permasalahanmu akan diputuskan dengan baik. Jika ia memerintahkan kamu untuk mengorbankan dia, maka lakukanlah. Jika ia menyuruhmu hal yang lain, yang mana baik kamu maupun dia akan ditolong, maka patuhilah dia!”

Bersama-sama mereka mengadakan perjalanan ke Medinah dan bertemu dengan sang peramal nasib di Khaybar. Abd al-Muttalib menceritakan sumpahnya, apa yang telah terjadi pada pengundian, dan maksudnya untuk mengorbankan anaknya. Perempuan tersebut memerintahkan mereka untuk meninggalkannya sampai roh mendatanginya dan ia dapat menanyainya. Mereka meninggalkan perempuan tersebut dan Abd al-Muttalib berdoa kepada Allah. Ketika mereka mendatangi perempuan itu pada keesokan hari, ia berkata kepada mereka: “Hal tersebut telah disingkapkan kepadaku. Berapa harga tebusan seorang pria di antara kalian?” Mereka menjawab: “Sepuluh ekor unta.” Ia menanggapi: “Kembalilah ke negaramu dan tempatkanlah Abdullah di satu sisi dan kesepuluh ekor unta di sisi yang lain dan undilah diantara mereka. Jika panah dengan kesepuluh unta yang terundi, korbankanlah mereka bukan dia. Dia akan lalu diselamatkan dan tuhanmu dipuaskan. Jika, bila panah Abdullah yang terundi, lalu tambahkanlah sepuluh ekor unta lagi. teruskanlah lakukan hal tersebut sampai panah bagi unta-unta itu yang terundi.”

Karena mendengar perkataan tersebut, mereka kembali ke Mekah, bertekad untuk mengikuti petunjuk perempuan tersebut. Abd al-Muttalib kembali berdoa kepada Allah di hadapan Hubal. Mereka kemudian membawa Abdullah dan kesepuluh ekor unta dan mengundinya. Ketika undian jatuh kepada Abdullah mereka membawa sepuluh ekor unta lagi. Kemudian undian terus-menerus jatuh kepada Abdullah, hingga akhirnya seratus ekor unta berdiri pada sisi yang berlawanan. Barulah pada saat itu panah dengan unta-unta yang terundi. Suku Quraish dan semuanya yang hadir membulatkan tekad: “Sekarang masalah tersebut telah diputuskan, Abd al-Muttalib! Tuhanmu telah dipuaskan!!” Namun Abd al-Muttalib, atau begitulah menurut mereka, telah bersumpah untuk tidak beristirahat sampai undian dilakukan tiga kali lagi. Pada saat undian telah dijatuhkan tiga kali kepada unta-unta maka mereka membantainya. Setiap orang mendapatkan bagian sebanyak yang ia kehendaki dari pembantaian tersebut.

1.04 -- Kelahiran dan Masa Kecil Muhammad (sekitar 570 M)

1.04.1 -- Pernikahan ayah Muhammad, Abdallah

Abd al-Muttalib membawa Abdullah dan pergi bersamanya ke tempat suci, melewati seorang wanita dari Bani Asad bin Abd al-‘Uzza. Dia adalah saudara perempuan dari Waraqa bin Nawfal. Dia melihat Abdullah dan bertanya: “Engkau pergi ke mana, Abdullah?” – “Aku pergi bersama ayahku.” – “Aku akan memberikanmu banyak unta sebanyak yang dikurbankan sebagai penggantimu jika engkau segera berbaring bersamaku.” “Aku tidak dapat meninggalkan ayahku, apalagi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.” Abd al-Muttalib kemudian pergi bersama anaknya ke tempat Wahb bin Abd Manaf, seseorang yang berkat garis keturunan dan kehormatannya, menjadi pemimpin Bani Zuhra. Ia kemudian yang memberikan putrinya Amina untuk menjadi istri Abdullah. Pada saat itu dia adalah wanita yang dipandang paling tinggi di antara suku Quraish berdasarkan derajat dan keturunannya. Ibunya bernama Barra dan merupakan putri dari Abd al-‘Uzza. Ibu dari Barra bernama Umm Habib dan merupakan putri dari Asad bin Abd al-‘Uzza. Abdullah kemudian menikahinya dan dia mengandung rasul Allah. Abdullah lalu meninggalkannya dan pergi mendatangi wanita yang menawarkan dirinya kepada Abdullah dan bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tidak mengajukan penawaran kepadaku seperti kemarin?” Dia menjawab: “Cahaya yang ada padamu kemarin telah meninggalkan engkau. Aku tidak punya urusan apapun lagi denganmu.”

Wanita itu telah mendengar dari saudara laki-lakinya, Waraqa bin Nawfal – yang telah menjadi seorang Kristen dan mempelajari Kitab-kitab – bahwa seorang nabi akan bangkit dari antara rakyatnya.*

* Tidak ada ditemukan di dalam ke 66 buku dalam Alkitab yang menyebutkan bahwa seorang nabi dari keturunan Arab akan bangkit.

Abu Ishaq bin Yasar melaporkan sesuatu yang serupa. Abdullah telah mendatangi wanita lain selain Amina dan yang ia hendak cumbui. Ternyata sebelumnya dia bekerja di dan karenanya menjadi kotor, hingga wanita itu menolaknya. Abdullah pergi, membersihkan diri, dan hendak kembali kepada Amina. Ketika ia sekali lagi melewati wanita ini, ia kembali dipanggil. Abdullah tidak mempedulikannya, tetapi langsung menemui Amina dan tidur bersamanya. Oleh karena itu dia mengandung Muhammad. Kemudian dia mengunjungi wanita itu sekali lagi dan bertanya kepadanya: “Apakah engkau memiliki gairah?”* Wanita itu membalas: “Tidak; ketika engkau pertama melewatiku ada sebuah titik yang berpendar diantara matamu. Oleh sebab itu, aku memanggilmu. Namun, engkau menolak dan pergi menjumpai Amina. Sekarang pendar tersebut telah berpindah kepadanya.”

* Bandingkan dengan Keluaran 20:14 (Larangan perzinahan).

Yang lain telah menduga wanita itu telah mengatakan: “Ketika dia lewat terdapat sesuatu seperti nyala putih dari seekor kuda betina di antara matanya. Aku mengundangnya untuk meniduriku dengan harapan bahwa tanda ini akan berpindah kepadaku. Namun ia menolak dan pergi menjumpai Amina, dimana dia mengandung rasul Allah. Ia adalah yang terbaik di antara rakyatnya dalam hal kelahiran dan kebangsawanan – baik dari sisi ayahnya maupun dari sisi ibunya.”*

* Dari kelahirannya Muhammad adalah seorang yang normal. Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Amina. Keduanya dikenal di Mekah. Islam tidak mengklaim Muhammad dilahirkan dengan cara yang supranatural. Dia hanyalah seorang seperti kita semua, tanpa natur ilahiah.
Namun, Alkitab memberikan bermacam-macam kesaksian bahwa Kristus adalah manusia seutuhnya dan Tuhan seutuhnya (bandingkan dengan Matius 1:20-21: Pemenuhan nubuat dari Yesaya 7:14).
Demikian pula, Quran bersaksi bahwa Isa dilahirkan oleh perawan Maryam, tanpa tindakan apapun dari seorang pria (Surah Ali Imran 3:46-48; Maryam 19:17-34). Malaikat Jibril dikatakan telah menghembuskan Roh Kudus kepada perawan Maryam (Surah al-Anbiya’ 21:91; al-Tahrim 66:12). Oleh sebab itu, al Masih disebut “Kalimatullah (Firman Allah)” di dalam Quran (Surah Al ‘Imran 3:45: al-Nisa‘4:171; Maryam 19:34).
Isa diperanakkan oleh Roh Kudus di dalam perawan Maryam. Perbedaan antara diri Muhammad dan Isa menyerupai perbedaan dari kelahiran Muhammad dan Isa.

1.04.2 -- Peristiwa yang terjadi selama Amina, ibu Muhammad hamil

Mengenai ibu dari Muhammad dilaporkan – hanya Allah yang maha tahu* - bahwa Amina, putri dari Wahb, berkata: “Ketika aku mengandung rasul Allah, sesosok roh menghampiriku, yang mengatakan kepadaku: “Engkau mengandung tuan dari bangsa ini. Sewaktu ia lahir katakanlah: Aku meletakkannya di bawah perlindungan dari seseorang yang akan melindunginya dari kejahatan dari setiap pendengkinya, dan berilah ia nama Muhammad!”**

* Ekspresi ini merefleksikan fakta bahwa penulisnya tidak yakin akan kebenaran atau keotentikan dari teks yang dihantarkan kepadanya.
** Bandingkan disini dengan Matius 1:18-25 (Isyarat kelahiran Yesus dan pemberian gelar atas nama-Nya melalui malaikat Gabriel). Baca juga Lukas 1:26-38.
Arti dari nama Muhammad dalam bahasa Arab adalah: dia yang sangat disanjung atau dipuji.

Selama kehamilannya dia juga dilaporkan menyaksikan cahaya yang bersinar memancar dari dirinya, yang dapat terlihat dari kastil-kastil di Bosra (yang berjarak 1000 kilometer) di Suriah (sebuah kota provinsi Romawi yang berada di utara Mekah).*

* Bandingkan dengan Yesaya 60:1-3.

Namun selama kehamilan Amina, Abdullah, putra Abd al-Muttalib, ayah dari rasul Allah, meninggal.*

* Pada hari kelahirannya Muhammad adalah anak yatim.

1.04.3 -- Kelahiran dan pertumbuhan rasul Allah (sekitar 570 M)

Rasul Allah dilahirkan pada hari Senin pada “tahun Gajah”*, pada saat malam ke dua belas pada bulan Rabi’a (bulan ketiga) telah berlalu. Hassan ibn Thabit meriwayatkan: “Aku adalah bocah laki-laki berusia tujuh atau delapan tahun dan mengerti benar apa yang aku dengar, ketika seorang Yahudi dari sebuah bangunan di Yathrib (Medinah) memanggil umatnya untuk berkumpul bersama. Ketika mereka telah berkumpul bersamanya, ia berkata: “Malam ini bintang** itu muncul, bersamanya Ahmad*** telah dilahirkan.’ Aku bertanya kepada Sa‘id ibn Abd al-Rahman berapakah usia Hassan pada saat Muhammad tiba di Medinah. Ia menjawab: ‘Enam puluh tahun’”. Karena Muhammad berusia lima puluh tiga tahun, Hassan pasti seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun sewaktu ia mendengar kata-kata tersebut.

* Bangsa Abysinia mencoba menaklukkan Mekah pada tahun 571. Karena di dalam pasukan mereka juga terdapat beberapa ekor gajah, maka tahun itu disebut ‘tahun gajah’ oleh bangsa Arab. Penamaan sebuah tahun berhubungan dengan peristiwa paling penting selama tahun tersebut adalah satu jenis penanggalan primitif.
** Bandingkan Matius 2:1-12 – orang bijak dari Timur dan bintang yang memimpin mereka ke Betlehem.
*** Ahmad berarti “sangat terpuji” dan mewakili bentuk lain dari nama Muhammad. Ahmad, yang sangat terpuji, oleh sebab itu dimengerti, dalam hubungan dengan Surah al-Saff 61:6, menjadi nama dari Parakletos (Penghibur) yang dijanjikan dalam Injil.

Setelah Muhammad lahir, ibunya meminta Abd al-Muttalib untuk datang dan melihat bocah laki-laki tersebut. Ia datang dan kemudian Amina memberitahukan apa yang ia lihat selama kehamilannya, apa yang telah dikatakan kepadanya tentang bayi itu dan ia harus menamai anak tersebut siapa. Kemudian diduga bahwa Abd al-Muttalib segera membawa anak tersebut bersamanya ke Ka’bah, dimana ia berdoa kepada Allah dan berterima kasih kepadanya atas pemberian tersebut.*

* Bandingkan Lukas 2:21-39 – penyerahan Yesus di kuil.

Ia kemudian membawa bayi itu kembali kepada ibunya dan mencoba mencari seorang inang untuk menyusuinya. Ibu angkat bayi itu adalah seorang wanita dari Bani Sa‘d ibn Bakr. Namanya Halima, putri Abu Dhu‘aib. Saudara dan saudari tiri Muhammad adalah Abd Allah ibn al-Harith, Unaisa dan Djudhama, yang dipanggil ‘al-Schayma‘. Mereka semua adalah anak kandung dari Halima.

Jahm ibn Abi Djahm, seorang budak yang telah dibebaskan oleh Harith ibn Hatib al-Djumahi, melaporkan bahwa Halima, putri Abu Dhu‘aib, inang yang menyusui rasul Allah, berkata: “Aku meninggalkan tanah kelahiranku bersama suamiku, bayi laki-laki, dan wanita-wanita lain dari Banu Sa‘d, yang juga mencari seorang bayi untuk disusui di tahun kelaparan yang menyebabkan kami tidak memiliki apa-apa. Aku mengendarai seekor keledai betina belang dan kami juga memiliki unta betina yang sama sekali tidak menghasilkan susu. Kami tidak dapat tidur semalaman karena anak kecil yang menangis karena kelaparan. Baik saya maupun unta betina kami tidak memiliki cukup susu untuk menyusuinya. Kami berharap akan adanya pertolongan dalam bentuk apapun. Aku mengendarai keledai betinaku tetapi terus menerus memperlambat laju kafilah karena keledai itu begitu lemah dan keletihan. Kami akhirnya tiba di Mekah untuk mencari seorang bayi yang butuh disusui. Rasul Allah ditawarkan kepada semua wanita, tetapi tidak satupun dari mereka menginginkannya, karena ia adalah seorang anak yatim. Mereka mengharapkan hadiah dari ayah anak tersebut, dan apalah yang dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya. Namun ketika semua wanita yang lain telah menemukan bayi untuk disusui dan kami hendak berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku: ‘Demi Allah, aku tidak akan pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang anak untuk disusui. Aku akan mengambil anak yatim ini.’ Ia menjawab: ‘Tidak ada bahaya yang akan menghampirimu jika engkau mengambilnya. Mungkin Allah akan memberkati kita melaluinya.’ Aku mengambilnya hanya karena aku tidak dapat menemukan anak lain untuk disusui. Aku kemudian menaikkannya ke tungganganku. Ketika aku menaruhnya di dadaku, ia mendapatkan begitu banyak susu sehingga ia minum sampai ia kenyang, demkian juga saudara tirinya. Kemudian mereka berdua tertidur. Sebelumnya kami tidak dapat tidur karena anak-anak terus menangis. Kemudian suamiku menghampiri unta betina tersebut. Kambingnya penuh dengan susu; ia dapat memerah begitu banyak susu hingga kami dapat minum sampai puas. Kami melewati malam yang sangat menyenangkan. Keesokan harinya suamiku berkata kepadaku: “Apakah engkau tahu, Halima, demi Allah engkau telah mengambil makhluk yang sangat diberkati.’ Aku menjawab: “Demi Allah, aku berharap demikian!” Kami kemudian berangkat. Aku mengambilnya, menunggangi keledai betinaku, yang sekarang berjalan begitu cepat sehingga semua yang seperjalanan dengan kami dengan keledai-keledai mereka tidak dapat mengikutinya. Mereka memintaku untuk menanti mereka, dan ingin mengetahui apakah keledai yang aku tunggangi saat itu sama dengan keledai yang sama yang aku bawa sebelumnya. Ketika aku telah memberikan jawaban yang membenarkannya, mereka menjawab: ‘Demi Allah, padanya ada penjelasan yang mengagumkan.’ Ketika kami tiba di rumah kami, di negeri Banu Sa'd, yang merupakan tanah yang paling tidak subur di antara tanah lainnya, datanglah kepadaku malam itu kawanan hewan milikku yang penuh gizi dan menjanjikan banyak susu. Benarlah kami memiliki susu yang berlimpah, ketika yang lainnya tidak dapat memerah setetes pun. Akhirnya beberapa dari mereka berkata kepada gembala-gembala mereka: ‘Celakalah engkau! Biarkan hewan-hewanmu merumput di mana gembala dari kawanan hewan milik putri Abu Dhu‘aib merumput!’ Namun, meskipun kawananku makan banyak dan menghasilkan susu yang berlimpah, kawanan milik mereka tidak memberikan setetes pun dan kembali dengan kelaparan. Dengan demikian kami mendapatkan berkat dan kelimpahan dari Allah dalam segala hal, sampai dua tahun telah berlalu, selama aku menyapih bocah laki-laki itu. Dia begitu bertenaga dan kuat melebihi yang lainnya. Kemudian kami mengembalikannya kepada ibunya, walaupun kami sebenarnya ingin memeliharanya karena berkat yang datang bersamanya. Oleh karena itu, aku berkata kepada ibunya: Apakah engkau ingin meninggalkan putra kecilmu dengan kami, sampai ia menjadi lebih kuat; karena aku khawatir udara Mekah yang jelek dapat membahayakan dirinya.’ Kami terus mendesaknya hingga ia mengijinkan anak itu kembali kepada kami.

Beberapa bulan setelah kami kembali – Muhammad berada di belakang rumah bersama saudaranya dan kawanan hewan, ketika saudaranya terburu-buru menghapiri kami dan berkata: “Dua orang pria berpakaian putih menangkap saudara Quraish-ku dan melemparkannya ke tanah. Mereka membelah badannya dan mengaduk-aduk isi tubuhnya.” Aku berlari ke arahnya bersama ayahnya. Ketika kami menemukannya, dia hampir tidak dapat dikenali, kami menghampirinya dan bertanya apa yang telah terjadi.

Ia menjawab: “Dua pria berpakaian putih menghampiriku, melemparku ke tanah, membelah dadaku dan kemudian mencari sesuatu; walaupun aku tidak tahu apa itu.*

* Bandingkan Surah Ash-Sharh 94:1-3 (Proses pemurnian Muhammad oleh dua malaikat).

Kami membawanya ke dalam tenda dan ayahnya berkata kepadaku: “Aku takut anak ini diganggu oleh roh-roh jahat. Kembalikanlah ia kepada keluarganya sebelum hal ini diketahui. Kami kemudian pergi bersama anak itu untuk menjumpai ibunya dan ia berseru, ‘Oh engkau adalah ibu susunya, engkau sangat berharap untuk menjaga anak kecil ini lebih lama!’ Aku menjawab: ‘Allah telah mengijinkan putraku tumbuh besar. Aku telah menyelesaikan tugasku, tetapi aku takut iblis telah menimpanya. Oleh sebab itu aku membawanya kembali kepadamu, sesuai dengan keinginan Anda.’ Amina menjawab: ‘Permasalahan ini berbeda dari hal yang kau utarakan sebelumnya! Ceritakan yang sebenarnya!’ Dia mendesakku demikian lama hingga akhirnya aku mengatakan segalanya kepadanya. Ia lalu bertanya: ‘Apakah engkau takut kalau ia dirasuki roh jahat?’ Ketika aku mengangguk, dia menjawab: ‘Sekali-kali tidak, demi Allah! Setan tidak dapat menyentuhnya, karena putra kecilku suatu hari akan memiliki posisi yang tinggi. Perlukah aku memberitahumu tentang dia?’ Ketika aku berkata ‘iya’, dia melanjutkan. ‘Ketika aku hamil aku melihat seberkas cahaya yang memancar dari dalam diriku – begitu terang sehingga cahaya itu mampu menyalakan kastil Bosra di Suriah yang jauh jaraknya. Kehamilanku begitu mudah dan menyenangkan – sesuatu yang aku tidak pernah ketahui. Ketika aku mengandungnya ia mengulurkan tangannya ke tanah dan menengadahkan kepalanya ke arah surga. Tetapi sekarang, tinggalkanlah dia bersamaku. Pulanglah dalam damai!’

Beberapa kawan dari rasul Allah pernah meminta kepadanya untuk memberikan informasi tentang dirinya sendiri. Tentang hal itu ia berkata: “Aku adalah dia yang diperintahkan oleh ayahku Ibrahim (Abraham) untuk dipercayai, dan yang dinubuatkan oleh Isa (Yesus).* Ketika ibuku tengah mengandung ia melihat seberkas cahaya yang memancar dari dalam dirinya yang bahkan menyalakan sebuah kastil di Bosra yang jaraknya jauh. Aku disapih diantara suku Banu Sa‘d ibn Bakr. Suatu waktu ketika aku sedang menggembalakan kawanan ternak di belakang rumah kami datanglah dua orang pria berpakaian putih menghampiri kami. Mereka memiliki sebuah wadah berisi salju. Mereka memegangi diriku dan membelah dadaku. Kemudian mereka mengeluarkan jantungku, membelahnya juga dan mengeluarkan gumpalan hitam darinya. Gumpalan itu mereka buang.** Kemudian mereka membersihkan jantung dan tubuhku dengan salju, sampai menjadi bersih. Akhirnya yang seorang berkata kepada yang lain: ‘Timbanglah dia terhadap sepuluh orang dari sukunya! Dia melakukannya tetapi timbanganku lebih berat dari mereka. Kemudian pria itu berkata: ‘Timbanglah dia terhadap seratus orang dari sukunya’; tetapi aku lebih berat dari seratus orang itu,’ dan ketika aku lebih berat dari mereka pria itu berkata: ‘Tinggalkan dia! Bahkan jika engkau menimbang dia terhadap seluruh umatnya dia akan lebih berat dari mereka semua!”

* Yesus menubuatkan bahwa banyak nabi-nabi palsu (bandingkan Matius 24:14-24) dan mesias-mesias palsu akan datang. Dengan keliru, banyak Muslim yang mengklaim bahwa terdapat beberapa nubutan di dalam Alkitab tentang kedatangan Muhammad (Ulangan 18:15).
** Cerita ini menjelaskan panggilan dan pembersihan Muhammad untuk kenabian. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Mustafa, dia yang dibersihkan. Dia tidak bersih dalam dirinya sendiri. Jantungnya harus dibersihkan. Namun, dia tidak menerima hati spiritual yang baru, seperti yang dijanjikan Tuhan di dalam Yehezkiel 36:26-27. Hati Muhammad tetaplah sama yaitu yang lama.
Secara tidak langung cerita pembersihan Muhammad ini bersaksi tentang dosa asal. Namun Islam, tidak percaya dengan keberadaan dosa asal (bandingkan Roma 5:12-21). Meskipun demikian, Muhammad mengerti dirinya adalah seorang pendosa. Tertulis tiga kali di dalam Quran ia harus memohon kepada Allah untuk pengampunan dosa-dosanya (Surah al-Ahzab 33:38; Ghafir 40:55 dan Muhammad 47:19).
Di sisi lain, Yesus hidup tanpa dosa. Dia suci seperti Tuhan dan bebas dari dosa asal. Dia diperanakkan oleh Roh Kudus. Tidak dapat ditemukan di dalam Quran klaim bahwa Yesus (Isa) pernah berdosa, bahkan ketika dosa-dosa dari semua nabi yang signifikan disebutkan. Quran dan tradisi Islam mengkonfirmasi lebih jauh, dalam bentuk yang berbeda-beda, ke-tanpadosa-an Yesus (Surah Maryam 19:19).

Rasul Allah pernah berkata: “Tidak ada nabi yang tidak pernah menjadi gembala.” Dan ketika seseorang bertanya kepadanya: “Dan engkau?” ia menjawab: “Aku, juga, seorang gembala.” Lebih lanjut, rasul Allah telah berkata kepada kawan-kawannya: “Aku adalah seorang Arab yang berdarah paling murni di antara kalian.* Aku adalah seorang Quraish dan hidup sebagai bayi menyusui, di antara suku Banu Sa‘d.”

*Bangsa Arab: di Semenanjung Arab, terminologi “al-‘Arab” menggambarkan kaum nomaden, suku-suku Bedouin; dan berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota-kota dan desa-desa. Kelompok terakhir ini tidak menganggap diri mereka sebagai bangsa Arab, tetapi mendefinisikan diri mereka dengan nama klan dan suku saingannya.
Muhammad mengetahui dirinya adalah seorang Bedouin. Selama masa mudanya ia menjaga kawanan ternak di padang stepa yang kering.

Ada beberapa orang yang mempercayai – hanya Allah yang tahu kebenarannya – bahwa Halima kehilangan rasul Allah di tengah-tengah keramaian orang di dataran tinggi Mekah, sewaktu ia membawanya untuk menjumpai ibunya. Ia tidak dapat menemukannya lagi. Ia lalu menemui Abd al-Muttalib dan menyampaikan keluhannya, yang lalu pergi mencari di situs suci tersebut, berdoa kepada Allah untuk mempertemukan ia kembali dengan Muhammad. Dilaporkan bahwa, adalah Waraqa ibn Nawfal dan seorang dari suku Quraish menemukannya di dataran tinggi Mekah dan membawanya kembali kepada Abd al-Muttalib. Abd al-Muttalib memanggulnya dan mengelilingi situs suci tersebut, menyerahkannya kepada perlindungan Allah dan berdoa baginya. Ia lalu membawanya kembali kepada ibunya.

Seorang pria yang terpelajar (seorang pembawa tradisi) mengatakan kepadaku: “Halima digerakkan oleh satu alasan lain untuk membawa Muhammad kembali kepadanya – sebuah alasan yang tidak ia nyatakan kepada ibunya. Setelah menyapih, ketika Halima dalam perjalanan kembali ke Mekah, beberapa orang dari suku Abyssinia yang merupakan penganut Nasrani bertemu dengannya. Mereka mengamatinya dari semua sisi dan menginterogasi Halima tentangnya. Kemudian mereka berkata: “Kami ingin membawa bocah laki-laki ini bersama kami dan membawanya kepada raja kami. Kami memiliki pengetahuan akan masa depan dari bocah laki-laki ini dan bahwa ia suatu hari akan menduduki posisi yang tinggi. Orang yang memberitahuku hal ini juga menambahkan bahwa mereka hampir tidak bisa menghindari suku Abyssinia.

1.04.4 -- Kematian Amina dan Abd al-Muttalib (sekitar 576 & 578 M)

Rasul Allah tinggal bersama ibu dan kakeknya, di bawah dukungan dan perlindungan Allah, yang mengijinkannya tumbuh selayaknya sebuah tanaman yang menarik – hingga, oleh anugerahNya, ia mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sewaktu ia berusia enam tahun ibunya meninggal.

Abd Allah ibn Abi Bakr menjelaskan: “Ibu dari Rasul Allah meninggal di Abwa*, di antara Mekah dan Medinah, ketika ia berusia enam tahun. Bersama Muhammad ia mengunjungi keluarganya yaitu suku Banu ‘Adi ibn al-Nadjdjar, dan meninggal dalam perjalanan kembali ke Mekah.”**

* Abwa terletak sekitar 200 kilometer di utara Mekah, di Laut Merah, sepanjang jalan menuju Medinah.
** Pada saat kelahirannya Muhammad telah menjadi anak yatim dan setelah tahun keenam ia menjadi yatim piatu. Tidak ada yang memperhatikannya seperti seorang ibu memperhatikan anak-anaknya. Pada bulan-bulan pertama hidupnya ia diberikan kepada suku Bedouin, di mana seorang ibu tiri menyusuinya sebagai pengganti ibu kandung. Di dalam hati Muhammad tersisa sebuah kekosongan yang berkelanjutan dan rasa haus akan kasih sayang.
Tuhan, Bapa-Nya, telah menunjuk seorang ayah angkat yang setia bagi Yesus, yaitu Yusuf, yang memperhatikan dan mencukupinya. Ibu-Nya juga tetap setia kepada-Nya meskipun didera penganiayaan. Pada saat Ia wafat, ibu-Nya berdiri di bawah salib.

Rasul Allah kemudian hidup bersama Abd al-Muttalib, kakeknya, yang meletakkan ranjangnya di sekitar Ka’bah. Putra-putranya duduk di sekitar ranjang dan menanti hingga ia tiba. Tidak ada seorangpun, dikarenakan rasa hormat padanya, yang berani duduk di atas ranjangnya. Suatu kali datanglah rasul Allah – ia masih seorang bocah laki-laki kecil – duduk di atas ranjang tersebut. Pamannya hendak mendorongnya, tetapi Abd al-Muttalib berkata: “Jangan ganggu putraku! Demi Allah suatu hari ia akan menduduki posisi yang hebat.” Dia lalu membiarkan Muhammad duduk di sampingnya dan mengelus punggungnya. Hati Muhammad sangat senang melihat apa yang dilakukan kakeknya. Ketika rasul Allah berusia delapan tahun Abd al-Muttalib meninggal.

Ketika Abd al-Muttalib merasakan bahwa kematian sudah dekat, ia memanggil keenam putrinya – Safiyya, Barra, Atiqa, Umm Hakim al-Baida, Umaima dan Arwa, dan berkata kepada mereka: “Merataplah bagiku, supaya sebelum mati aku dapat mendengar apa yang engkau hendak katakan tentang aku”, di mana putrinya, Safiyya, memuliakannya:

Ketika suara meratap di malam hari mengumumkan malapetaka besar yang diturunkan atas seorang pria, aku meneteskan air mata, yang bergulir di pipiku seumpama mutiara – dikarenakan seorang pria yang sangat mulia, yang jauh melampaui para budak – bagi pria yang sangat dermawan, diberkahi dengan kebajikan besar – bagi seorang ayah yang agung, seorang pewaris dari segala sesuatu yang baik – bagi seseorang yang begitu setia pada tanah airnya, yang tidak menyerah tanpa usaha dan berdiri teguh, tidak membutuhkan bantuan apapun – dia yang berkuasa, memiliki tubuh yang kuat, watak yang unggul, cemerlang, keturunan yang saleh, yang memberikan berkat kepada orang-orang laksana hujan di musim kering, seorang keturunan yang mulia dan tanpa cacat – berharga \ di mata seorang tuan maupun budak. Dia sangat lembut, seorang pria yang mulia dan murah hati yang berasal dari keturunan yang baik budi – kuat seperti singa.

Bilamana memungkinkan, oleh karena kebangsawanannya yang terhormat, biarlah ia hidup selamanya – namun keabadian bukanlah bagian dari manusia – sehingga ia akan tetap abadi sampai kepada malam yang terakhir – melalui penghormatan yang tinggi kepadanya dan keturunan yang saleh.

Putri-putrinya yang lain juga menyusun pujian mereka terhadap ayah mereka selagi masih hidup. Mereka menyusun ayat yang mulia tentangnya – di mana setiap anak mencoba mengungguli anak lainnya. Sahabat-sahabatnya, juga datang untuk memuji dan memujanya.

Abd al-Muttalib, tidak lagi dapat berbicara, , hanya memberi anggukan tanda bahwa ia begitu ingin untuk mendapatkan pujian.

Setelah kematian Abd al-Muttalib, putranya yang bernama al-Abbas, menjadi tuan atas sumur Zamzam. Dialah yang dulu memberi minum pada para peziarah, meskipun dia masih memiliki saudara laki-laki yang lebih tua pada saat itu. Hak tersebut dikonfirmasi oleh Rasul Allah. Keluarganya masih memiliki hak atas sumur itu sampai hari ini.

1.04.5 -- Muhammad dan pamannya, Abu Talib (sekitar setelah 578 M)

Setelah kematian Abd al-Muttalib, rasul Allah hidup bersama pamannya, Abu Talib. Pengaturan ini direkomendasikan oleh Abd al-Muttalib, karena ia dan ayah dari sang rasul, Abd Allah, adalah saudara kandung. Nama ibu mereka adalah Fatima, putri dari Amr ibn Aid. Setelah kematian ayahnya, Abu Talib memelihara rasul Allah dan selalu menjaganya di sisinya. Seorang peramal nasib yang datang ke Mekah meramalkan sebuah posisi yang tinggi bagi anak muda tersebut. Sesungguhnya demikianlah yang dinyatakan: ketika Abu Talib sedang bepergian dengan beberapa orang pemuda, sang peramal nasib kebetulan melihat sang rasul Allah. Namun perhatiannya teralihkan karena sesuatu hal. Setelah hal tersebut ditangani, dia bertanya lagi tentang Muhammad dan menghendaki agar pemuda tersebut dibawa kepadanya. Namun, ketika Abu Talib melihat betapa berhasratnya sang peramal nasib untuk melihat bocah laki-laki itu, ia menyembunyikannya. Akhirnya sang peramal nasib berseru: “Celakalah engkau! Bawakan bocah laki-laki yang aku lihat tadi. Demi Allah ia akan menempati sebuah tempat yang penuh kemegahan.” Namun Abu Talib telah pergi bersama bocah laki-laki itu.

Kemudian diketahui bahwa Abu Talib hendak berangkat untuk melakukan misi perdagangan di Suriah. Dia sedang hendak berangkat ketika rasul Allah merangkulnya dengan demikian manja, sehingga ia menjadi lembut dan berkata: “Demi Allah, aku akan membawamu besertaku dan tidak akan berpisah lagi darimu!”, atau kata-kata lain yang memberi efek yang sama. Ia lalu berangkat bersamanya. Seperti biasa, mereka berhenti di sekitar pertapaan biarawan. Nama biarawan tersebut adalah Buhaira (atau Bahira). Dia mengetahui Kitab Suci dan agama orang-orang Nasrani dan telah hidup lama di dalam kelompoknya. Di sana mereka menyimpan sebuah buku yang berisi petunjuk bagi, para biarawan. Buku tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meskipun Abu Talib dan rombongannya sering melewati tempat tersebut pada kesempatan sebelumya, Buhaira tidak pernah memperhatikan mereka atau memperkenalkan diri kepada mereka. Namun kali ini, dia menyiapkan hidangan untuk mereka karena – sebagaimana hal tersebut terjadi – dari dalam ruangannya dia telah melihat, , bagaimana kumpulan awan telah menutupi rasul Allah di tengah-tengah kafilah tersebut. Mereka tiba dan menempatkan diri di bawah sebuah pohon dan memberikan rasul Allah tempat teduh, dan bahkan cabang-cabang pohon merunduk untuk menawarkan perlindungan yang lebih baik baginya. Ketika hidangan telah siap, Buhaira mengirim utusan kepada kafilah tersebut, memberitahu semuanya bahwa mereka semua diundang makan, baik yang muda maupun tua, budak maupun orang merdeka.

Kemudian salah satu dari suku Quraish berkata: “Jelaslah bahwa engkau tidak pernah menunjukkan keramahtamahan seperti demikian sebelumnya. Mengapa hari ini berbeda?” Buhaira menjawab: “Perkataanmu memang benar. Akan tetapi hari ini kalian adalah tamuku. Aku hendak menghormati kalian dengan sebuah jamuan, di mana Anda sekalian diundang.” Kemudian setiap orang menghampirinya. Hanya rasul Allah yang tetap tinggal di bawah naungan kemah, karena usianya yang masih belia. Karena Buhaira tidak menemukan orang yang memiliki tanda tertentu di antara para tamunya, ia kemudian berkata: “Kalian suku Quraish, tidak seorangpun bisa tetap tinggal di dalam kemah karena masih tersedia tempat disini.” Mereka menjawab: “Hanya seorang bocah laki-laki – yang adalah yang termuda di seluruh kafilah – tetap tinggal di kemah.” Dia kemudian membalas: “Panggilah dia. Dia, juga, harus makan bersama dengan kalian!”

Kemudian salah seorang dari suku Quraish berteriak: “Demi Al-At* dan Uzza**, tidaklah benar bagi kita untuk meninggalkan putra Abd Allah di kemah!” Dia kemudian menghampiri anak tersebut, menggendongnya dan membawanya bergabung dengan yang lain. Buhaira kemudian menyelidiknya dan mencari tanda-tanda yang ia harap untuk ditemukan pada tubuhnya. Ketika jamuan sudah berakhir dan para tamu telah berpencar, Buhaira berdiri di hadapannya, memohon kepadanya demi Lat dan Uzza untuk memberikannya jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Dia memohon kepada Lat dan Uzza hanya karena itu adalah cara yang biasa dilakukan oleh suku Quraish.

* Al-Lat, istri Allah, adalah dewi suku Banu Thaqif, yang juga dikenal sebagai al-Rabba, sang penguasa wanita.
** Al-Uzza, putri dari al-Lat, adalah dewi suku Quraysh dan Kinana, dan berdiri di luar Mekah. Patung kedua dewi tersebut dihancurkan pada saat penaklukan Mekah.

Diduga Muhammad berkata kepadanya: “Janganlah bertanya padaku demi Lat dan Uzza, karena, demi Allah, tidak ada hal yang lebih membangkitkan kebencian bagiku kecuali dewi-dewi ini.” Buhaira kemudia berkata: “Kalau begitu aku memohon kepadamu demi Allah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku.” Muhammad menjawab: “Tanyalah apa yang menurutmu baik!”

Ia lalu bertanya tentang kondisinya sewaktu ia tertidur, tentang kondisi fisiknya dan hal-hal lainnya. Rasul Allah memberikan informasi tentang segala hal, yang tepat dengan segala yang Buhaira ketahui tentang dirinya. Ia kemudian mengamati punggungnya dan menemukan, di antara pundaknya, tanda kenabian, - di tempat di mana digambarkan baginya. Tanda tersebut kelihatan menyerupai tanda gelas yang menangkup. Ia lalu menjumpai Abu Talib dan bertanya kepadanya: “Apa hubungan anda dengan bocah laki-laki ini?” Dia menjawab: “Dia adalah putraku.” – “Dia bukan putramu, karena bocah laki-laki ini tidak butuh ayah lagi.” – “Baiklah kalau begitu, dia adalah keponakanku.” – “dan ayahnya?” – Dia meninggal sewaktu ibunya sedang mengandung.” “Engkau telah mengatakan kebenaran. Sekarang pulanglah dengan bocah laki-laki ini dan sembunyikan dia dari orang-orang Yahudi, karena, demi Allah, jika mereka melihat dan mengenalinya mereka akan berbuat jahat padanya. Keponakanmu suatu hari akan mengisi posisi yang hebat. Oleh sebab itu segeralah bawa ia kembali ke negerimu!”*

* Pertemuan antara Buhaira dan Muhammad ditolak oleh beberapa Islamis dan dianggap sebagai apologetika Kristen, yang Muslim klaim sebagai penjelasan dari pengetahuan Alkitabiah Muhammad.

Abu Talib melaksanakannya, setelah ia menyelesaikan bisnisnya di Suriah.

Rasul Allah terus bertumbuh, dan Allah melindungi dan menjaganya dari kesalahan keji zaman jahiliah, karena Ia telah menunjuknya menjadi rasulNya. Dan ia menjadi pria terkemuka di antara bangsanya: tidak ada seorangpun yang lebih unggul darinya dalam hal kesatriaan, kelakuan baik ataupun dalam kelahiran yang mulia. Dia adalah tetangga yang paling menyenangkan, paling lemah lembut, paling terpercaya dan setia – menjaga dirinya dengan menjauhi perilaku buruk yang merendahkan seorang pria. Dia disanjung dan menggabungkan begitu banyak kebajikan di dalam dirinya sendiri sehingga ia dikenal oleh bangsanya sebagai “ia yang setia”.

Ketika “perang kenajisan” pecah, Muhammad berusia dua puluh satu tahun. Perang tersebut dinamai demikian karena saat pertempuran antara suku Kinana dan suku Qays Ailan terjadi, beberapa perintah suci dilanggar. Pemimpin dari Quraish dan Kinana adalah Harb ibn Umaiyya ibn Abd Schams. Pada awal hari suku Qays yang berjaya, tetapi sejak tengah hari suku Kinana yang berjaya.

1.05 -- Pernikahan Muhammad dan Khadija (sekitar 595 M)

1.05.1 -- Kisah yang mendahului pernikahan Muhammad dan Khadija

Ketika Muhammad berusia dua puluh lima tahun, ia menikahi Khadija, putri dari Khuwailid ibn Asasd. Khadija adalah seorang pedagang yang dihormati. Dia mempekerjakan pria-pria untuk usahanya, yakni usaha dagang. Ia pun memberi mereka pembagian atas keuntungan yang didapatkan. Ketika ia mendengar akan kesetiaan, kejujuran dan kebaikan moral Muhammad, ia pun memanggilnya, menyarankannya untuk pergi ke Suriah atas nama Khadija, dan menjalankan bisnis atas barang dagangannya. Ia berjanji akan memberikan lebih banyak barang dibandingkan barang pedagang-pedagang yang lain. Muhammad menerima tawarannya, dan pergi ke Suriah dengan barang dagangannya dengan ditemani oleh Maysara, salah satu pembantu Khadija.

Ketika ia duduk di bawah naungan sebuah pohon, dekat dengan pertapaan pendeta, sang pendeta bertanya kepada Maysara siapakah pria yang sedang duduk di bawah pohon. Maysara menjawab: “Dia adalah seorang dari suku Quraish, penduduk dari situs suci.” Sang pendeta lalu membalas: “Ia yang sedang duduk di bawah pohon tersebut tidak lain daripada seorang nabi!” Ketika Muhammad telah menjual semua barang dagangan yang telah mereka bawa dan membeli barang lainnya, ia dan Maysara kembali ke Mekah. Dilaporkan bahwa di tengah panasnya hari, Maysara melihat dua malaikat memberikan naungan kepada Muhammad yang sedang duduk di atas untanya. Ketika mereka tiba di Mekah, Khadija menjual barang dagangan yang mereka bawa dan menemukan bahwa barang dagangannya telah menjadi dua kali lipat jumlahnya. Maysara juga memberitahukan mengenai perkataan pendeta itu dan bagaimana ia juga telah melihat dua malaikat memberikan naungan. Ketika Khadija, seorang wanita yang berhati baik, terhormat dan penuh pengertian mendengar hal tersebut, yang kepadanya Allah telah menunjuk suatu posisi yang dimuliakan – demikian dilaporkan – ia memanggil Muhammad dan berkata: “Sepupuku, aku menginginkanmu bagi diriku karena engkau bersaudara denganku, karena penghargaan yang tinggi di antara bangsamu, juga karena kesetiaan, kejujuran dan kebaikan moralmu.” Akhirnya ia melamar Muhammad.*

* Khadija berusia sekitar empat puluh dan Muhamad sekitar dua puluh lima tahun ketika mereka menikah. Khadija telah menikah sebelumnya dengan dua orang pria dan membawa putra-putra dari pernikahan sebelumnya ke dalam pernikahannya yang baru. Suami yang pertamanya meninggal; sedangkan yang kedua ia usir. Dia memiliki kepribadian yang keras dan merupakan seorang pengusaha wanita dan wiraswasta yang sukses.
Dalam kasus Khadija, jelaslah bahwa wanita, sebelum Islam hadir di semenanjung Arabia, memiliki posisi yang lebih tinggi daripada yang berani diakui oleh sarjana Islam. Mereka berketetapan bahwa hanya Islam yang memberikan wanita martabat mereka. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya.
Selama Muhammad menikah dengannya, ia tidak pernah menikahi wanita lain. Kemungkinan hal ini disebabkan karena ia melihat Khadija sebagai pengganti seorang ibu yang telah meninggal pada saat usianya masih belia. Sebagai seorang yatim piatu ia kurang merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Muhammad telah berhasil menikahi majikan dan tuannya. Dengan demikian ia menjadi kaya, terpandang dan mampu hidup di pusat Mekah.
Yesus memilih untuk tidak menikah. Ia tahu ia akan wafat di usia tiga puluhan sebagai Domba Tuhan demi dosa dunia. Ia tidak ingin meninggalkan keluarga yang tidak terpenuhi kebutuhannya dan mendedikasikan seluruh energi-Nya kepada penebusan umat manusia.

1.05.2 -- Pernikahan Muhammad dan anak-anaknya dengan Khadija (sekitar 595 M)

Pada saat itu Khadija adalah wanita paling terpandang di antara suku Quraish, baik karena garis keturunannya, maupun karena kekayaan yang ia miliki. Setiap pria dari suku bangsanya menginginkan Khadija sebagai istri. Ia adalah putri dari Khuwailid ibn Asad, dan ibunya adalah Fatima, putri Zaid ibn al-Assam.

Muhammad memberitahu pamannya mengenai lamaran Khadija. Pamannya, Hamza ibn Abd al-Muttalib, pergi bersamanya menjumpai Khuwailid ibn Asad untuk meminta putrinya dalam ikatan pernikahan, dan dengan demikian pernikahan itu diputuskan. Sebagai mahar pengantinnya, Muhammad memberikan kepada dua puluh ekor unta muda. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi Muhammad. Sampai kepada kematian Khadija, ia tidak menikahi wanita lain. Ia adalah ibu dari seluruh anak-anaknya kecuali Ibrahim.* Ia mengandung baginya al-Qasim, (oleh sebab itu Muhammad juga dikenal sebagai Abu al-Qasim), al-Tayyib, Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatima. Al-Qasim adalah anak sulung, lalu disusul oleh al-Tayyib, kemudian al-Tahir. Putri tertuanya adalah Ruqayya, kemudian Zainab, kemudian Umm Kulthum, kemudian Fatima. Ketiga putranya meninggal pada jaman jahiliah; namun putrinya, semua lahir pada jaman Islam, memeluk agama tersebut, dan kemudian hijrah bersama ayah mereka.**

* Ibu Ibrahim adalah Maria Koptik. Abd Allah ibn Wahb telah melanjutkan apa yang ia dengar dari Ibn Lahia, bahwa Maria, ibu Ibrahim, merupakan budak milik rasul Allah, yang telah diberikan kepadanya oleh al-Muqawqas, berasal dari Hafr, di distrik Ansina.
** Kematian dari ketiga putranya adalah sebuah tragedi pahit bagi Muhammad. Ia ditinggal tanpa pewaris. Di dunia timur pukulan nasib demikian dapat dilacak kembali kepada kemurkaan Allah atau dianggap sebagai akibat dari ilmu hitam. Muhammad kaya dan terpandang; tetapi di dalam dirinya, dia tidak merasa aman dan penuh dengan banyak pertanyaan.

Khadija, putri dari Khuwailid, telah memberitahu sepupunya, Waraqa ibn Nawfal*, mengenai apa yang telah Maysara katakan kepadanya tentang kata-kata sang pendeta dan malaikat yang telah menaungi Muhammad. Waraqa, seorang Nasrani yang telah mempelajari Kitab Suci secara menyeluruh, menjawab: “Jika itu adalah kebenarannya, maka Muhammad adalah nabi bagi bangsa kita; karena aku tahu bahwa seorang nabi memang diharapkan untuk datang dan sekarang waktunya telah tiba.” Ia telah menanti lama untuk hal tersebut terjadi dan lalu bertanya kembali: “Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan?”

* Waraqa ibn Nawfal adalah pemimpin dari sebuah gereja Kristen kecil di Mekah dan kemungkinan ikut ambil bagian dalam pernikahan Muhammad kepada Khadija. Tradisi Islam menkonfirmasi adanya sebuah gereja Kristen di Mekah sebelum jaman Islam.

1.06 -- TES

Pembaca yang terhormat,
Jika Anda telah dengan teliti mempelajari buku ini, Anda akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Siapa saja yang mampu menjawab 90% pertanyaan yang terdapat di 11 volume seri ini akan menerima sebuah sertifikat penghargaan tertulis dari kantor pusat kami mengenai :

Studi Lanjutan
dari kehidupan Muhammad dalam terang Injil.

- untuk semangat pelayanan di masa depan bagi Kristus.

  1. Mengapa penting bagi seorang Kristen untuk menyempatkan diri mempelajari biografi Muhammad?
  2. Apa yang dilaporkan Ibn Hisham tentang kakek Muhammad, Abd al-Muttalib?
  3. Mengapa terjadi persengketaan atas sumur Zamzam di Mekah? Bagaimana mereka menyelesaikan perselisihan tersebut?
  4. Mengapa Abd al-Muttalib berniat membunuh anaknya Abdallah? Bagaimana Abdallah berhasil melepaskan diri dari ancaman menjadi korban persembahan?
  5. Mengapa kakak perempuan Waraqa ibn Nawfal menolak Abdallah apa yang sebelumnya telah ia janjikan? Alasan apakah yang diberikan oleh Ibn Hisham? Apakah Anda melihat adanya alasan lain? Bagaimana Anda menilai keseluruhan cerita?
  6. Berkat apa yang diterima Halima karena ia merawat bayi Muhammad?
  7. Mengapa wajah Muhammad sepenuhnya berubah ketika dua pria membelah dadanya? Apakah perubahan wajah seseorang mengindikasikan bahwa dosanya telah dihapus? Mengapa Halima ingin mengembalikan Muhammad kepada ibunya?
  8. Apa yang dilakukan oleh Muhammad ketika ia bersama dengan pamannya Abu Talib? Bagaimana hal tersebut membantu mempersiapkan keberhasilannya di masa depan?
  9. Apakah tanda kenabian yang dilihat oleh Buhaira diantara kedua pundak Muhammad?
  10. Biarawan Maysara berkata: “Hanya nabi yang mendatangi bawah pohon ini.” Berapa banyak orang yang menurut anda mendatangi bawah pohon tersebut? Apa artinya hal tersebut?
  11. Bagaimana Muhammad berhasil menikahi Khadija yang makmur?
  12. Siapakah Waraqa ibn Nawfal?
  13. Ketiga anak laki-laki Muhammad dari Khadija (al-Qasim, al-Tayyib and al-Tahir) mati di masa sebelum Islam. Menurut anda bagaimana nasib mereka: Firdaus atau neraka?

Setiap peserta yang mengambil bagian dalam tes ini diijinkan untuk menggunakan, dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, buku apa saja yang tersedia bagi dirinya atau bertanya kepada seseorang yang terpercaya yang ia pilih. Kami menantikan jawaban tertulis Anda, termasuk alamat lengkap anda pada sehelai kertas atau e-mail. Kami berdoa kepada Yesus, Tuhan yang hidup, bagi Anda, sehingga Ia memanggil, mengirim, memimpin, menguatkan, melindungi dan menyertai setiap hari dalam kehidupan Anda!

Bersama dengan Anda di dalam pelayanan dari Yesus,
Abd al-Masih and Salam Falaki.

Kirimkanlah jawaban anda ke:

GRACE AND TRUTH
POBox 1806
70708 Fellbach
Germany

atau dengan e-mail ke:
info@grace-and-truth.net

www.Grace-and-Truth.net

Page last modified on March 18, 2020, at 07:34 AM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)