Grace and Truth

This website is under construction !

Search in "Indonesian":

Home -- Indonesian -- 04. Sira -- 2 The beginning of Islam with Muhammad

This page in: -- Chinese -- English -- French -- German -- INDONESIAN -- Portuguese -- Russian -- Uzbek

Previous book -- Next book

04. KEHIDUPAN MUHAMMAD MENURUT IBN HISHAM

2 - AWAL MULA Islam bersama Muhammad (610 sampai 615 M)

Kenabian Muhammad -- Kebangkitan Komunitas Islam yang Pertama -- Perlawanan Masyarakat Mekah -- Migrasi Pertama ke Etiopia.



2.01 -- BAGIAN II - Nabi yang Teraniaya di Mekah

Menurut Muhammad Ibn Ishaq (meninggal 767 M) diedit oleh Abd al-Malik Ibn Hischam (meninggal 834 M)

Sebuah terjemahan yang diedit dari bahasa Arab, aslinya di-tulis oleh Alfred Guillaume

Sebuah seleksi dengan anotasi oleh Abd al-Masih dan Salam Falaki

2.02 -- Kenabian Muhammad

2.02.1 -- Muhammad menjadi penengah dalam perselisihan mengenai batu suci di Mekah

Ketika Muhamad berusia tiga puluh lima tahun, suku Quraish memutuskan untuk menambah tinggi Kabah. Tinggi Kabah saat itu tidak lebih dari tinggi seorang pria dewasa dan terdiri dari batu-batu yang ditumpuk satu sama lain. Akan tetapi mereka merasa ragu untuk membongkarnya. Mereka ingin meninggikan tembok dan memberikan atap bagi bangunan tersebut, namun harta yang telah disembunyikan di dalam sebuah sumur di bagian dalam Kabah, telah dicuri. Harta tersebut kemudian ditemukan ada bersama Duwaik, seorang merdeka (non-budak) dari Bani Mulayh. Mereka menduga, bahwa, orang lain telah mencurinya dan menyembunyikannya pada Duwaik. Tidak lama sebelumnya, sebuah badai menghempaskan kapal dagang Yunani ke pantai Jiddah, dimana kapal tersebut hancur. Orang Arab telah mengangkut kayunya, dengan hasrat untuk menggunakannya untuk membangun atap Kabah. Selain itu ada juga seorang Koptik, seorang tukang kayu, yang menyiapkan kayu bagi mereka.

* Adalah seorang Kristen Koptik yang membingkai atap dari Kabah di Mekah! Suku Beduin, yang telah menetap, tidak memiliki pemahaman akan pekerjaan seorang tukang kayu.

Di dalam sumur Kabah, di mana setiap hari ada makanan yang dilemparkan ke dalamnya, hiduplah seekor ular. Ular itu senang merambati tembok Kabah untuk berjemur. Ular itu sangat ditakuti, karena begitu ada orang mendekatinya, ia akan bangun, berdesis dan membuka mulutnya lebar-lebar. Pada suatu hari pada saat ular itu sedang berjemur di sepanjang tembok Kabah, Allah mengirim seekor burung, yang membawa ular itu pergi. Kemudian suku Quraish mengatakan: “Kami berharap Allah akan merestui niat kami. Kami memiliki kawan seorang tukang kayu; kami memiliki kayu, dan sekarang Allah telah membebaskan kami dari ular tersebut.”

Suku Quraish membagi pembangunan Kabah di antara mereka. Pembangunan sisi di mana pintu berada, jatuh ke tangan anak-anak Abd Manaf dan Zuhra; sisi di antara pilar hitam dan Yamani jatuh kepada Bani Makhzum dan suku-suku lain dari suku Quraish, yang merupakan bagian dari Bani Makhzum; bagian belakang Kabah diberikan kepada mereka “orang-orang Hatim”, kepada Bani Abd al-Dar ibn Qusai, kepada Bani Asad ibn Abd al-‘Uzza dan kepada Bani ‘Adi ibn Ka‘b.

Meski demikian, orang-orang masih ragu untuk merobohkan Kabah. Pada saat itulah al-Walid ibn Mughira berkata: “Saya akan memulainya!” Dia mengambil pangkurnya, menempatkan dirinya di depan Kabah dan berteriak: “Allah, kiranya tidak ada kesialan jatuh atas kami. Allah, kami hanya ingin apa yang baik!”

Dia kemudian mulai merobohkan tembok yang berada di antara dua pilar. Orang-orang lainnya menunggu satu malam lewat dan berkata: “Kami ingin melihat apakah kesialan akan menimpa dia. Jika ya, kami tidak akan menyentuh Kabah; jika tidak; berarti Allah menyetujui niat kami.”

Keesokan paginya, pada saat Walid melanjutkan penghancuran itu, orang-orang lain melakukan hal yang sama. Ketika mereka turun ke fondasi yang terbuat dari batu-batuan yang telah diletakkan oleh Ibrahim (Abraham),* mereka menemukan batu-batu itu ditutupi rumput hijau dan berbentuk menyerupai punuk unta. Batu-batu itu tersusun kokoh membentuk lapisan-lapisan yang kuat. Seorang suku Quraish, yang juga ikut serta dalam penghancuran, menyelipkan sebuah linggis besar di antara kedua batu untuk melonggarkan dan mencungkil salah satu batu. Begitu batu tersebut mulai goyang, seluruh Mekah ikut berguncang sehingga mereka membiarkan batu fondasi pada tempatnya supaya mereka tetap berada di tempatnya.

* Ini dengan jelas merupakan sebuah legenda. Abraham tidak pernah menginjakkan kaki di Mekah.

Pada bagian atas salah satu pilar suku Quraish menemukan prasasti bangsa Suriah. Tidak ada seorangpun yang mampu menafsirkannya sampai seorang Yahudi membacakan isi prasasti kepada mereka. Prasasti tersebut tertulis: “Aku adalah Allah, Tuan atas Mekah. Aku menciptakan kota in pada hari aku menciptakan surga dan bumi, membentuk matahari dan bulan, dan memberikannya tujuh malaikat sebagai perlindungan. Ia akan tetap ada selama kedua gunung yang mengelilinginya ada. Bangsanya akan diberkati dengan air dan susu.”

Laith ibn Abi Sulaim menegaskan bahwa empat puluh tahun sebelum Muhammad diutus, ditemukan sebuah batu di Kabah yang tertulis: “Barangsiapa yang menabur kebaikan, menuai berkat; barangsiapa menabur kejahatan, menuai penyesalan. Apakah engkau ingin mendapat imbalan berupa kebaikan dengan melakukan kejahatan? Tidak, sama seperti anggur tidak dapat dikumpulkan dari duri.”*

* Mungkin di sini kita mendapati sebuah perkataan Yesus yang telah diubah. (bandingkan Matius 7:16).

Suku Quraish kembali mengumpulkan batu-batu untuk konstruksi Kabah. Setiap suku bekerja sendiri-sendiri. Mereka membangun hingga sampai di tempat di mana batu suci harus diletakkan. Di sana kemudian terjadi keributan. Setiap suku igin mendapatkan kehormatan dan hak istimewa untuk mengembalikannya ke tempat semula. Dalam waktu singkat hubungan mereka merenggang, dan mulai membentuk sekutu dan mempersiapkan diri untuk pertempuran.

Bani Abd al-Dar membawa sebuah wajan berisi darah dan mengadakan perjanjian dengan Bani ‘Adi. Mereka bersumpah untuk tetap setia sampai mati dengan mencelupkan tangan mereka ke dalam darah yang berada di dalam wajan tersebut. Karena hal ini mereka menjadi terkenal dengan sebutan “penjilat-darah”. Perselisihan ini berlangsung selama empat sampai lima hari. Menyusul hal tersebut mereka berkumpul di dalam masjid dan berembuk satu sama lain. Pada saat itulah Abu Umayya, yang paling tua di antara suku Quraish, tampil ke muka, dan mengusulkan suku Quraish sebagai penengah, yaitu yang pertama menginjakkan kaki di dalam masjid. Usulan tersebut diterima dengan baik.

Mereka setuju mengenai hal itu dan yang pertama kali masuk adalah Muhammad. Ketika mereka melihat dia mereka berseru: “Dia benar di hadapan kami, karena dia adalah orang yang jujur.”

Mereka melaporkan kepadanya penyebab perselisihan itu. Pada saat itu Muhammad membawa sepotong kain, yang di atasnya ia letakkan batu tersebut. Dia lalu mengijinkan satu orang dari setiap suku untuk memegang kain tersebut, bersama-sama mengangkat batu tersebut dan membawanya ke tempat dimana batu itu akan ditanam. Dia sendiri lalu meletakkan batu itu di tempatnya yang lama, dan pembangunan dapat dilanjutkan.*

* Bantuan Muhammad di dalam menengahi pembaruan Kabah di Mekah paralel dengan pembersihan kuil yang dilakukan oleh Yesus, yang mengusir para pedagang dan penjual dari kuil di Yerusalem untuk membersihkannya demi penyembahan kepada Tuhan (Yohanes 2:13-22). Lebih jauh lagi, Yesus menyatakan bahwa musuh-musuhnya akan merobohkan kuil tersebut dan Dia akan membangunnya kembali dalam tiga hari (Matius 26:61; 27:40). Dia berbicara tentang kematian dan kebangkitan tubuh-Nya, yang adalah kuil Tuhan yang sejati.
Muhammad mengijinkan ritual kuil yang lama terus dilakukan, dengan meletakkan batu hitam di dalam Kabah dan memadukan ziarah kafir menjadi hukum Islam. Namun Yesus, bersama gereja-Nya, menciptakan kuil yang baru, yang di dalamnya berdiam Roh Tuhan.
Muhammad menerima Kabah dan berhala-berhalanya sampai dia menaklukkan kota itu bersama dengan tentaranya. Dia kemudian membersihkan kuil tersebut dari berhala-berhala, tetapi ia mengijinkan batu hitam untuk tetap tertanam di dalam Kabah dan juga menciumnya.

Pada masa Muhammad, panjang, lebar dan tinggi Kabar masing-masing berukuran 18 hasta. Kabah ditutupi dengan kain kanvas Mesir dan pada akhirnya ditutupi dengan bahan katun bergaris-garis. Al-Hajjaj ibn Yusuf adalah orang pertama yang menutupinya dengan sutra.

2.02.2 -- Kepercayaan masyarakat Mekah terhadap Jin

Rabi-rabi Yahudi, pendeta-pendeta Kristen dan peramal-peramal di antara orang Arab telah membicarakan tentang Muhammad pada jaman mreka. Para Rabi menyatakan apa yang mereka temukan tentang dia dan masa hidupnya di dalam Kitab Suci mereka. Para peramal menambahkan apa yang telah mereka curi dengar dari Jin* (roh) jahat, sebelum bintang-bintang dijatuhkan ke atas mereka (bintang jatuh).

* Ibn Hisham di sini menggambarkan Jin sebagai roh jahat, meskipun mereka tampaknya mengetahui rahasia mengenai pengutusan Muhammad.
Islam berbicara tentang dua macam Jin – Jin jahat dan baik. Jin yang baik adalah yang menerima Quran dan menjadi Muslim!

Baik peramal pria maupun wanita telah berulang kali menyebut-nyebut kedatangan Muhammad, tetapi bangsa Arab tidak menunjukkan ketertarikan mereka hingga saat perkataan-perkataan tersebut telah ditegaskan. Mereka kemudian menjadi percaya. Ketika waktu kedatangan utusan Allah telah semakin dekat, Jin jahat tidak lagi diijinkan untuk mencuri dengar. Mereka tidak diijinkan kembali ke tempat semula dimana mereka menguping, yang mengakibatkan mereka dilempari dengan bintang-bintang. Dengan hal ini mereka juga memperhatikan bahwa apa yang telah Allah tetapkan sebelumnya telah menjadi kenyataan. Allah mengungkapkan kepada nabinya mengenai sejarah Jin tersebut (Surah al-Jinn 72:1-3): “Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak.”*

* Tradisi lain yang menempatkan pertemuan antara Muhammad dengan Jin terjadi setelah penduduk Taif menolak Muhammad.

Ketika para Jin menjadi insaf akan Quran, mereka mengetahui alasan mengapa mereka tidak lagi diperkenankan untuk menguping. Wahyu tersebut dibuat untuk dipahami dan menghilangkan keraguan akan pesan-pesan yang tidak sama yang berasal dari surga. Sekarang para Jin percaya dan juga berkotbah kepada teman-teman mereka: “Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (Surah al-Ahqaf 46:30).

* Jin Muslim memperlihatkan diri mereka sebagai misionaris yang tekun demi ekspansi Islam.

Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri mendengar dari Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abu Talib, yang mendengarnya dari Ansar. Muhammad bertanya kepada mereka: “Apa pendapat kamu tentang bintang-bintang jatuh?” Mereka menjawab: “Kami berpikir seorang raja telah meninggal atau telah ditunjuk menduduki tahta, atau seorang anak terkenal telah dilahirkan atau meninggal.” Kemudian Muhammad menanggapi: “Bukan demikian, tetapi sebenarnya Allah telah menetapkan sesuatu tentang ciptaannya. Para raja mendengar hal ini dan memujinya. Para malaikat mengikuti teladan mereka. Dengan demikian pujian dipanjatkan hingga surga terendah.” Pada saat itulah salah satu dari mereka ingin mengetahui dari satu sama lain apakah hal yang dimaksud itu sehingga Allah dipuji. Mereka mendapatkan jawaban demikian: “Karena mereka yang ada di atas memuji dia.” Kemudian mereka yang di atas dan semuanya sampai kepada para raja ditanyai. Ketika mereka semua menyampaikan ketetapan Allah, sehingga jawabannya diturunkan secara bertahap, bahkan sampai kepada surga tingkat terendah. Di sinilah Jin jahat mendengarkan dan menafsirkan beberapa hal secara tidak benar atau keliru. Kesalahan ini kemudian sampai kepada para peramal di bumi. Di sanalah mereka sebagian menyesatkan mereka dan sebagian memberitahukan kebenaran. Para peramal meneruskan pesan tersebut, sehingga menyebarkan beberapa kesalahan dan beberapa kebenaran. Oleh sebab itu, Allah menjaga Jin agar tetap menjauh dengan melempari mereka dengan bintang jatuh. Dengan cara ini ramalan tersebut berhenti.*

* Para Jin dianggap sebagai roh mediasi, yang berbicara melalui manusia (medium). Suku Quraish mengakui medium yang demikian (kerasukan roh). Kontak dan pengalaman gaib adalah lazim dan eksis sampai hari ini di negara-negara Islam.

2.02.3 -- Perjumpaan dengan Bangsa Yahudi*

Salama ibn Salama menceritakan: “Seorang Yahudi, seorang teman yang dilindung dari Bani Abd al-Ashhal, pada suatu hari datang mencari mereka, (pada saat itu saya masih salah seorang yang termuda, mengenakan jubah dan tinggal di kediaman keluarga saya) dan berbicara tentang kebangkitan, tentang penghakiman, dan tentang timbangan dan tentang firdaus dan tentang neraka. Kaum penyembah dewa-dewa dan penyembah berhala, yang tidak percaya pada kebangkitan, menjawabnya: ‘Apakah anda benar-benar percaya bahwa manusia akan dibangkitan setelah kematian dan memasuki sebuah dunia yang di dalamnya terdapat sebuah surga dan sebuah neraka, dan bahwa kemudian mereka akan diberi imbalan berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka?”**

* Terdapat banyak orang Yahudi tinggal di Hijaz, bagian barat dari Semenanjung Arabia, setelah penyebaran mereka dari Yudea dan Yerusalem pada tahun 70M yang disebabkan oleh orang Romawi. Mereka percaya kepada satu Tuhan dan memiliki sebuah liturgi yang berkembang dengan baik bagi pelayanan ibadah mereka. Di atas segalanya, mereka memiliki sebuah buku, yang darinya mereka dapat membawa segala detil yang berkaitan dengan iman mereka, hukum mereka dan sejarah mereka.
** Kepercayaan kepada kebangkitan orang mati dan pada surga dan neraka diteruskan oleh bangsa Yahudi kepada Muhammad. Sekitar 70 persen teks di dalam Quran berisi cerita-cerita dan hukum-hukum Perjanjian Lama yang telah diubah.

Dia menjawab: “Ya, demi Dia yang demi namaNya manusia bersumpah!” Dia menambahkan bahwa dia memilih untuk dikunci di dalam perapian terpanas, jika perapian dapat menjauhkan dia dari api neraka yang dimaksudkan baginya.

Beberapa tahun sebelum kebangkitan Islam, seorang Yahudi dari Suriah, yang bernama Ibn al-Hayabban, tinggal bersama kami. Demi Allah dia adalah yang terbaik di antara mereka yang tidak melaksanakan shalat lima waktu. Setiap saat kami mengalami kekeringan, kami akan mendatanginya dan memintanya untuk memohon hujan pada Allah.* Sebelumnya dia akan selalu memanggil kami untuk memberikan sedekah, dan ketika kami bertanya padanya berapa banyak, dia menjawab: “Satu sha’* kurma atau dua mud jali-jali.” Setelah kami membawanya, dia pergi bersama kami ke ladang dan mulai memohon hujan kepada Allah untuk kami. Dan, demi Allah, sebelum dia berdiri sekelompok awan lewat dan menurunkan kelembabannya yang berharga ke atas kami. Hal ini terjadi berulang kali. Ketika saat kematiannya mendekat, dia meminta kepada teman sebangsanya: “Mengapa engkau mengira aku meninggalkan tanah airku yang subur dan pindah ke tanah tandus ini? Mereka menjawabnya: “Engkau mengetahui hal itu lebih baik daripada kami!” Dia melanjutkan: “Aku datang ke sini karena aku telah menantikan seorang nabi, seseorang yang waktunya akan segera tiba, dan yang akan muncul di tanah ini. Aku telah menantikan kedatangannya sehingga aku dapat mengikutinya. Sekarang waktunya telah dekat. Janganlah ijinkan dirimu disesatkan oleh yang lain, karena ia akan menumpahkan darah musuh-musuhnya dan menawan anak-anak mereka. Tidak ada yang dapat melindungimu darinya.”

* Doa bagi hujan, terutama di daerah Timur Tengah, adalah sebuah praktek yang tersebar luas sampai hari ini.
** Satu sha’ adalah ukuran kering yang dapat menampung empat mud. Ukurannya bervariasi pada wilayah-wilayah yang berbeda. Saat ini satu sha’ dianggap setara dengan tiga liter.

Ketika belakangan Muhammad mengepung suku Yahudi Bani Quraiza, para pria, yang pada saat itu masih muda, berkata: “Oh, engkau anak-anak Quraiza! Demi Allah, itulah nabi yang dijanjikan kepadamu oleh Ibnal-Hayyaban!”* Mereka membalas, sebaliknya: “Dia bukanlah dia!”

* Penantian yang terus menerus dari bangsa Yahudi akan sang Mesias, atau nabi yang Musa telah nubuatkan (Ulangan 18:15) - bahkan setelah kedatangan Yesus – memberikan pemikiran kepada Muhammad bahwa dialah nabi yang dijanjikan itu. Tetapi ayat selanjutnya dengan jelas menyatakan bahwa sang Mesias akan datang dari bangsa Israel: “dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu.”

2.02.4 -- Kaum pencari Allah (Suku Hanafi)

Pada suatu kesempatan, pada salah satu hari perayaan mereka, suku Quraish berkumpul di seputar salah satu berhala yang mereka hormati dan diberi persembahan korban, yang kepadanya mereka percaya dan persembahkan ritual. Hari itu adalah salah satu hari perayaan tahunan mereka. Namun, empat orang memisahkan diri dan secara rahasia membuat ikatan perjanjian persahabatan di antara mereka. Mereka adalah Waraqa ibn Nawfal, ‘Ubaid Allah ibn Jahsh, Uthman ibn al-Huwairith and Zaid ibn Amr. Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain: “Kami tahu, demi Allah, bahwa suku bangsa kami tidak memiliki iman yang benar. Mereka telah megotori agama Abraham, leluhur mereka. Bagaimana bisa kami mengelilingi batu yang tidak dapat melihat maupun mendengar, yang tidak dapat memberikan bantuan ataupun mendatangkan malapetaka? Kami akan mencari kepercayaan lain, karena apa yang diturunkan kepada kami tidak memiliki nilai.” Kemudian mereka berpencar ke tanah-tanah yang berbeda dalam upaya mencari iman Abraham yang benar.*

* Rasa tidak percaya akan animisme dan roh-roh gentayangan (berhala-berhala) telah ada di Mekah sebelum masa Muhammad. Oleh sebab itu, adalah suatu kompromi yang tidak dapat dipercaya ketika Muhammad menetapkan kembali ritual tawaf dan mencium batu hitam ke dalam liturgi ziarah Islam. Hal ini memunculkan kembali kekafiran yang paling kelam.

Waraqa ibn Nawfal* terpikat akan Kekristenan dan mempelajari buku-buku Kristen hingga ia menjadi tidak asing dengan pengetahuan yang dimiliki para ahli kitab.

* Waraqa ibn Nawfal adalah keponakan dari paman Khadijah, istri Muhammad yang pertama. Dia adalah pemimpin dari sebuah gereja Kristen kecil di Mekah dan tidak diragukan lagi memiliki pengaruh tertentu atas Muhammad. Menurut laporan dia mencoba menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Arab.

‘Ubaid Allah ibn Jahsh tetap bersikap skeptis hingga pada akhirnya ia memeluk Islam. Dia kemudian pindah dengan istrinya ke Abyssinia, Um Habiba, seorang putri dari Abu Sufyan. Ketika mereka tinggal di sana, dia memeluk Kekristenan dan meninggal sebagai seorang Kristen. Setelah ‘Ubaid Allah ibn Jahsh menjadi seorang Kristen, dia berkata kepada para sahabatnya, yang telah pindah ke Abyssinia bersamanya: “Kami telah dengan jelas mengetahui kebenaran. Namun kamu masih mencarinya dan belum menemukannya.” Ketika mengatakan hal ini dia menggunakan ungkapan yang digunakan ketika seekor anak anjing pertama kali membuka mata dan belum dapat melihat dengan jelas. Muhammad kemudian menikahi janda dari ‘Ubaid Allah.* Untuk itu, dia mengutus Amr ibn Umaiyya al-Damri menghadap pangeran dari Abyssinia untuk mendapatkan perempuan itu. Sang pangeran menerima lamaran dengan mahar pernikahan sebesar 400 dinar.

* Perdebatan mengenai pengetahuan akan Tuhan yang sejati telah dan selalu ada pada masa Muslim mula-mula. Mereka mendengar kesaksian yang jelas dari salah satu dari mereka sendiri, yang telah menjadi seorang Kristen. Mungkin Muhammad ingin mendapatkan pengetahuan tangan pertama dari alasan mengapa seorang Muslim mau menjadi seorang Kristen ketika dia menikahi janda dari petobat tersebut, Umm Habiba, seorang putri dari Abu Sufyan (yang di kemudian hari menjadi musuh terkuat Muhammad dari Mekah sebelum akhirnya memeluk Islam).

Uthman ibn al-Huwairith menghadap kaisar Byzantium, menjadi seorang Kristen, dan terangkat ke posisi yang tinggi.*

* Di hadapan kaisar Byzantium, mungkin pernah ada jejak-jejak akan Muhammad dan Islam. Barangkali dari jauh Uthman telah mengikuti perkembangan di Mekah dan Medinah dan memberikan informasi kepada pelindungnya.

Zaid ibn Amr tidak menerima iman Yahudi maupun Kristen. Ia juga meninggalkan iman dari bangsanya sendiri. Dia tidak menyembah berhala, tidak mengkonsumsi hewan yang sudah mati dan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala, juga darah. Dia juga mengutuk praktek menguburkan gadis muda hidup-hidup.* Dia berkata: “Aku menyembah Tuhan Abraham,” dan dengan lantang mencela kesalahan-kesalahan bangsanya. Hisham ibn ‘Urwa melaporkan kepadaku mengenai ayahnya, yang mendengar dari ibunya, Asma’, putri dari Abu Bakr, bagaimana ia mengatakan: “Aku telah melihat Zaid ibn ‘Amr, dan bagaimana dia, sebagai seorang pria lanjut usia, menyandarkan punggungnya pada Kabah dan berkata: “Bangsa Quraish! Demi Dia yang dalam kuasa-Nya jiwaku bergantung, selain daripadaku tidak seorangpun darimu yang dalam iman Abraham.” Kemudian ia melanjutkan: “Allah … jika aku tahu dengan cara bagaimana engkau ingin disembah, aku akan melakukannya; tetapi aku tidak tahu.” Dia lalu jatuh menyembah dengan tangannya.”

* Referensi Quran tentang pembunuhan gadis-gadis muda ditemukan dalam Surah al-Takwir 81:8-9.

Zaid menulis ayat berikut ini akibat murtad dari iman bangsanya dan konsekuensi yang harus ia hadapi :

Haruskah aku percaya pada satu ilah atau seribu ilah, sehingga kedaulatan mereka dapat dibagi? Aku telah meninggalkan Lat dan Uzza.* Itu adalah bagaimana seseorang yang kuat dan gigih berlaku. Aku tidak percaya kepada Uzza maupun kedua putrinya. Dan aku juga tidak melakukan ziarah mengunjungi kedua berhala putra-putra ‘Amr. Aku juga tidak percaya kepada berhala-berhala Ghanm, yang merupakan ilah kami ketika aku masih kecil. Aku terpesona (pada malam hari ada hal-hal yang membuat kita terpesona, yang ternyata menjadi nyata di siang hari) bahwa Allah memusnahkan begitu banyak orang yang sangat hina, namun bagaimana ia memelihara orang yang saleh. Allah mengijinkan anak-anak tumbuh besar dan menjadi kuat. Ketika seorang pria tersesat dia masih dapat bertobat suatu hari, sama seperti sebuah cabang yang menjadi basah oleh hujan bertunas kembali. Aku menyembah Tuanku, Sang Maha Belas Kasih, sehingga Dia, Sang Maha Penyayang, akan mengampuni dosaku. Tetaplah takut akan Allah, tuanmu, supaya kamu jangan mengalami kehancuran. Engkau akan melihat bagaimana mereka yang saleh diberikan taman-taman untuk dihuni, sementara bagian dari mereka yang tidak percaya adalah api yang berkobar-kobar di neraka. Mereka menemukan aib dalam hidup dan setelah kematian dada-dada mereka menggeliat dalam penderitaan.

* Lihatlah yang disebut sebagai ayat-ayat Setan dalam Quran, di mana, untuk satu waktu, Muhammad dikatakan telah menyetujui keberadaan istri Allah (al-Lat) dan putri-putrinya (Mana dan ‘Uzza) (lihat Surah al-Hajj 22:52-53 dan al-Najm 53:19-23). Secara Alkitabiah terkait menguji nabi-nabi, (bandingkan Ulangan 18:20) Muhammad seharusnya sudah dihukum mati.

Dia kemudian pergi untuk mencari iman Abraham dan untuk menanyakan biarawan-biarawan dan rabi-rabi. Dia pergi ke seluruh Mesopotamia dan sampai di Mosul,* mengunjungi Suriah hingga tiba di Maifa, di Provinsi Balqa. Di sana ia menemukan seorang biarawan yang dipercaya merupakan seorang Kristen yang paling terpelajar. Dia menanyakan kepadanya tentang agama yang benar, tentang iman Abraham. Sang biarawan menjawab: “Engkau mencari sebuah agama, yang mana tidak seorangpun dapat memerintahmu lagi, dan waktunya sudah dekat bagi seorang nabi untuk muncul di tanah darimana engkau berasal. Dia akan dikirim oleh Allah dari iman Abraham yang sejati. Bergabunglah dengannya, dia akan segera muncul, karena waktunya telah tiba.” Zaid telah bersikap terbuka terhadap agama Yahudi dan Kristen, tetapi kedua agama tersebut tidak memuaskannya. Dalam perjalanan kembali ke Mekah dia melalui tanah Lakhmites. Di sana mereka menyerang dan membunuhnya.**

* Sebuah kota di utara Irak yang pernah menjadi pusat dari orang Kristen Aram yang berkembang.
** Bahkan sebelum wahyu yang diberikan kepada Muhammad telah terdapat di Mekah, sebuah keyakinan yang bertumbuh dengan beberapa “Hanafi” (pencari Tuhan) bahwa ilah-ilah, berhala-berhala dan patung-patung di area kuil di Kabah tidak memiliki nilai dan mati.

2.02.5 -- Nubuatan mengenai Nabi Allah yang dipercaya terdapat dalam Injil

Menurut salinan Injil yang dinyatakan oleh Allah, dan ditulis oleh Yohanes sang murid, ketika Isa masih hidup, “Isa ibn Maryam dikatakan telah mengatakan perkataan mengenai Muhammad demikian: “Barangsiapa yang membenciku, ia membenci Tuhan. Apabila aku memang belum memperlihatkan pekerjaan-pekerjaan di hadapan mereka, maka mereka tidak bersalah. Namun mereka tidak bersyukur, dan percaya mereka harus menghormatiku seperti Tuhan sendiri. Meski demikian, yang tertulis di dalam buku Taurat harus dipenuhi, yaitu bahwa mereka membenciku tanpa alasan.** Jika Munhamanna*** telah muncul, yang Allah akan kirimkan kepadamu dari Tuhan dan dari Roh kekudusan****, dia akan menjadi saksi bagiku dan bagimu. Engkau juga akan melakukan hal yang demikian, karena engkau sejak awal bersamaku. Hal ini aku katakan kepadamu supaya engkau tidak ragu.”*****

* ‘Isa bin Maryam adalah sebutan bagi Yesus Putra Maria.
** Bagian-bagian dari Injil Yohanes telah dikenal di Mekah pada masa Muhammad dan telah didiskusikan oleh masyarakat kota tersebut. (Lihat Yohanes 15:23-27; 16:1).
*** Tampaknya Munhamanna adalah terjemahan Arabik dari kata Yunani Parakletos. Namun menerjemahkannya dengan tujuan memberi arti kepada Muhammad merupakan sebuah kesalahan. Walaupun kata Yunani yang digunakan adalah kata yang benar sehubungan dengan penggunaan konsonan, namun salah sehubungan dengan penggunaan huruf hidup, sehingga menjadi “periklytos”. Parakletos memiliki arti “Sang Penghibur” dan “Sang Penolong”. Sebaliknya, “periklytos” memiliki arti “Yang Terpuji”, yang memiliki arti yang sama dengan kata Arabik “Muhammad”. Karena alasan inilah Muslim bersikeras mempertahankan bahwa Muhammad adalah sang Parakletos, sang Penghibur yang dijanjikan di dalam Perjanjian Baru.
**** Di dalam bagian ini Pribadi unsur-unsur Trinitas yang Kudus masih disebutkan secara keseluruhan tanpa memerlukan penafsiran: Allah, sang Tuhan, dan Roh Kekudusan. Sementara itu, pada teologi Islam yang berkembang di kemudian hari, unsur-unsur tersebut ditolak dengan tegas.
***** Muhammad salah mengerti janji Yesus Kristus (Yohanes 15:26), yang menyatakan bahwa Dia akan mengirim Roh Penghibur, dan merujuk janji tersebut pada dirinya sendiri. Tidak ada Muslim yang dapat menerima bahwa Muhammad adalah utusan dari Kristus (Yohanes14:16-17; 16:7-11)!
Ini adalah bukti bahwa Ibn Hisham, sebelum memulai dari apa yang disebut sebagai “wahyu” bagi Muhammad, telah memiliki pendirian untuk “memberi penjelasan” mengenai serpihan-serpihan Injil yang tidak dimengerti dengan tepat. Dengan demikian, secara tidak langsung menegaskan pernyataan “Ubaid Allah, yang di Abyssinia berpindah agama dari Islam ke Kristen.

Ketika Muhammad berusia empat puluh tahun, Allah mengirim dia ke dalam dunia – sebagai belas kasihan darinya bagi seluruh kemanusiaan.* Pada masa-masa permulaan, Allah telah memberi tanggung jawab kepada nabi-nabinya untuk mempercayai Muhammad; untuk menjadi saksi baginya sebagai saksi yang dapat dipercaya dan berdiri bersamanya menghadapi musuh. Mereka harus menyatakan hal-hal ini kepada semua yang percaya kepada mereka dan percaya akan kebenaran dari mereka. Mereka melakukan sebagaimana mereka diperintahkan.

* Ayat Quran yang berhubungan dengan hal ini sering diaplikasikan pada Quran itu sendiri dan bukan pada Muhammad (Sura al-Nahl 16:89).

2.02.6 -- Penglihatan Muhammad yang pertama (sekitar 610 M)

‘Urwa ibn al-Zubair mendengar hal berikut ini dari ‘Aisha: “Ketika Allah hendak memberi penghormatan kepada Muhammad dan menunjukkan belas kasih kepada umat manusia, dan memberi jalan untuk memulai pelayanan kenabiannya, dengan wujud penampakan dalam mimpi, seperti terbitnya fajar. Allah menggerakkan hatinya untuk menyendiri. Muhammad menyukai kesendirian di atas segalanya.”

Wahb ibn Kaisan mengingat apa yang telah ‘Ubaid katakan kepadanya: “Muhammad menghabiskan waktu satu bulan di Hira dan memberi makan orang miskin yang mendatanginya. Ketika bulan itu telah berlalu, dia mengelilingi Ka’bah tujuh kali, atau sesuai dengan yang menyenangkan hati Allah. Hanya setelah selesai melakukan itu, barulah itu dia masuk ke rumah. Ketika tahun pengutusannya tiba, dia seperti biasanya, pergi dengan keluarganya pada bulan Ramadhan (bulan ke sembilan) ke Hira. Pada malam hari Allah memberi kehormatan kepada pelayannya dengan sebuah pesan, di mana Malaikat Gabriel muncul di hadapannya, membawa kepadanya perintah Allah.*

* Dalam Galatia 1:8-9 Paulus menyatakan, setiap malaikat atau roh yang memberitakan sebuah injil setelah pewahyuan Injil melalui Yesus Kristus, atau yang memperkenalkan kembali sebuah hukum agama, akan dikutuk. Oleh sebab itu, tidak mungkin malaikat yang muncul di hadapan Muhammad adalah Malaikat Gabriel. Akan tetapi hal itu merupakan apa yang persis dipertahankan oleh Islam!
Lebih lanjut lagi, di dalam Islam Malaikat Gabriel disebut sebagai “Roh Kekudusan”. Oleh karena itu, Roh Kudus Quranik versi adalah seorang malaikat yang merupakan karya cipta, bukan Roh Elohim sendiri. Di sini menjadi jelas bahwa tidak ada Roh Kudus atau apapun juga yang hadir dan bekerja secara penuh di dalam Islam dan di antara semua umat Muslim.

“Aku tidur”, kata Muhammad, “ketika ia membawakan aku selembar kain sutra, yang terdapat tulisan di atasnya, dan berkata ‘Baca!’* Aku menjawab: ‘Aku tidak dapat membaca!’** Dia lalu menekan aku pada kain tersebut, sehingga aku berpikir aku akan mati. Dia lalu melepaskanku dan memerintahkanku lagi: ‘Baca!’ Ketika aku kembali menjawab bahwa aku tidak dapat membaca dia membungkus aku dengan kain tersebut sehingga aku hampir menyerah pada roh tersebut.*** Dia lalu melepaskanku dan mengulangi perintahnya. Aku kemudian bertanya, karena ketakutanku dia akan mengulangi apa yang dilakukannya sebelumnya, apa yang harus aku baca. Dia lalu berkata, ‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.**** Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya’ (Surah al-‘Alaq 96:1-5). Aku kini membacanya, dan Gabriel melepaskanku kembali. Setelah itu aku terbangun dan sepertinya kata-kata tersebut tertulis di dalam hatiku.”

* Kata Quran (secara literal berarti pembacaan atau yang harus dibaca) adalah sebuah turunan dari kata kerja infinitif qara’a; bentuk perintah dari “baca” atau “da’wah” adalah iqra’. Quran tidak dapat hanya bisa dibaca atau didengar, tetapi dapat juga dihafalkan dan dida’wahkan oleh orang yang buta huruf (lihat juga buku berbahasa Jerman tulisan Theodore Nöldeke, “Geschichte des Qurans”, cetakan ulang tahun 1981, George Olms: Hildesheim, hal. 31-32).
** Muhammad adalah seorang yang buta huruf. Dia tidak dapat membaca maupun menulis (Surah A'raf 7:157-158). Terlebih lagi, pada masa hidupnya Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Bahkan sekalipun terjemahan Bahasa Arab telah tersedia, Muhammad tidak akan mampu untuk membacanya. Bahkan terdapat lebih sedikit orang yang mampu untuk membaca Alkitab dalam Bahasa aslinya, yaitu Perjanjian Lama dalam Bahasa Ibrani dan Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani. Oleh sebab itu Muhammad tidak memiliki akses kepada sumber-sumber Kebenaran dan terpaksa mengandalkan tradisi lisan.
Yesus dapat membaca dan menulis dan dia menda’wahkan teks-teks dari Taurat dan kitab Nabi-nabi (Lukas 4:17-20) dalam Bahasa Ibrani. Lebih dari itu, Dia adalah Firman Tuhan yang berinkarnasi dan sang Kebenaran dalam wujud Pribadi.
*** Wahyu kepada Muhammad datang dalam bentuk yang tidak memuaskan dan tidak memberkati. Setiap kali dia menerima wahyu-wahyu dari rohnya dia mendapatkan perasaan dia akan tercekik secara menyakitkan atau akan mati.
**** Tuhan tidak menciptakan manusia dari segumpal darah. Bukan darah yang ada pertama-tama diciptakan; kalaupun ada, darah yang tersedia hanyalah darah hewan. Tuhan menciptakan manusia melalui Firman-Nya dan membentuk manusia itu dari debu tanah menjadi serupa dengan diri-Nya sendiri (Kejadian 1:26-27; 2:7; 3:19).

“Aku keluar dari gua dan berdiri di tengah-tengah gunungan. Kemudian aku mendengar suara dari langit yang memanggilku: ‘Muhammad! Engkau adalah rasul Allah dan aku adalah Jibril.’ Aku mengangkat kepalaku ke arah langit untuk melihat dia yang berbicara, dan kemudian aku melihat Jibril dalam wujud manusia bersayap. Kakinya tertanam di cakrawala dan dia berseru: ‘Muhammad! Engkau adalah rasul Allah dan aku adalah Jibril.’ Aku tetap berdiri dan melihat ke arah penampakan tersebut, tidak bergerak maju ataupun mundur. Kemudian aku berpaling darinya, namun ke arah manapun aku berpaling, ke sisi manapun aku melihat, aku selalu melihat Jibril di hadapanku. Aku tetap berdiri seperti itu, tidak bergerak maju maupun mundur, hingga Khadija mengirim orang untuk mencariku. Mereka pergi sampai ke daerah dataran tinggi Mekah hingga kembali kepada wanita yang mengirim mereka. Namun aku tetap berdiri sampai malaikat tersebut pergi, dan pada saat itulah aku kembali kepada keluargaku.”

“Ketika aku mendatangi Khadija, aku duduk di pangkuannya dan menekan diriku dengan kuat terhadapnya. Dia menanyaiku kemana aku telah pergi dan berkata dia telah mengirim orang untuk mencariku. Mereka telah pergi ke dataran tinggi Mekah dan kemudian kembali. Ketika aku memberitahunya apa yang telah aku lihat, dia berkata: ‘Bersukacitalah, oh sepupu, dan bergembiralah demi dia yang di dalam kuasanya jiwaku berlindung. Aku berharap engkau akan menjadi nabi bagi bangsamu.’”*

* Khadija adalah orang pertama yang percaya kepada Muhammad dan mendorong Muhammad untuk mempercayai pengutusannya. Dia membuat Muhammad sadar akan panggilannya. Kepadanya Muhammad mencari pelipur dengan pelukan hangat.

“Dia kemudian berdiri, memakai pakaian, dan mendatangi sepupunya, Waraga ibn Nawfal, yang telah menjadi seorang Kristen, membaca Kitab Suci dan telah mendengar beberapa hal dari orang Yahudi dan Kristen. Dia memberitahukan apa yang telah aku lihat dan dengar. Kemudian Waraqa berbicara: “Kudus, kudus, kudus demi dia yang dalam kekuasaanNya jiwa Waraqa berada! Jika apa yang engkau ceritakan kepadaku merupakan hal yang benar, maka adalah Namus Agung* yang telah mendatanginya, yang juga telah muncul kepada Musa, maka dia yang adalah nabi atas bangsa ini. Beritahu dia untuk tetap tegar.’”

* Bagi orang Kristen Arab, Namus berarti persamaan dengan “misteri” atau “hokum”. Namun bagi Muslim, itu adalah penjelasan dari malaikat Jibril.

Setelah itu, Khadija kembali kepada Muhammad dan melaporkan apa yang Waraqa telah katakan.

Ketika waktu menyendiri untuk bermeditasi telah berlalu, Muhammad kembali ke rumah dan, seperti biasa, pertama-tama pergi mengelilingi Ka’bah. Di tengah perjalanan Waraqa bertemu dengannya dan berkata: “Beritahukanlah kepadaku apa yang telah engkau lihat dan apa yang telah engkau dengar.” Ketika Muhammad memberitahunya dia berkata: “Demi dia yang di dalam kekuasaannya jiwaku berada, engkau adalah nabi dari bangsa ini. Namus Agung, yang muncul di hadapan Musa, telah juga datang kepadamu. Orang-orang akan memanggilmu penipu, menjahatimu, mengusir dan memerangimu. Jika aku merasakan masa-masa itu, aku akan berdiri dengan Allah dengan cara yang akan dia perhitungkan kepadaku.” Dia kemudian menundukkan kepalanya kepada Muhammad dan mencium keningnya, kemudian Muhammad kembali ke rumah.*

* Meskipun Waraqa ibn Nawfal adalah pemimpin gereja Kristen di Mekah, dia tidak memiliki karunia untuk membedakan roh ataupun kedewasaan spiritual untuk menentukan roh apa yang sebenarnya telah berbicara melalui Muhammad.

2.02.7 -- Cara Khadijah, istri Muhammad menguji kebenaran wahyu

Isma‘il ibn Abi Hakim, seorang budak yang dibebaskan dari keluarga Zubair, memberitahuku mengenai apa yang dia dengar dari Khadijah: “Aku berkata kepada Muhammad: ‘Dapatkah engkau segera memberitahuku ketika kawanmu hadir di depanmu?’ Dia berkata, ‘Ya.’ Aku memintanya melakukan hal ini. Ketika Jibril muncul di hadapannya lagi, dia memanggilku. Aku berkata kepada Muhammad: ‘Duduklah di paha kiriku!’ Setelah dia melakukannya, aku bertanya: ‘Apakah engkau masih melihatnya?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Aku memintanya duduk di atas paha kananku dan bertanya kepadanya lagi apakah dia masih melihatnya. Ketika dia kembali mengiyakan, aku memintanya untuk duduk di pangkuanku dan bertanya kembali apakah dia masih melihatnya. Ketika dia menegaskan bahwa dia melihatnya, aku mendesah dan melepaskan cadarku. Ketika aku bertanya kembali kepadanya jika dia masih melihatnya dan dia berkata ‘Tidak.’ Aku kemudian berseru: ‘Bersukacitalah, sepupuku, dan bergembiralah; demi Allah ia adalah seorang malaikat dan bukan Setan!’”

Ibn Ishaq menambahkan: “Ketika aku membagikan tradisi ini dengan Abd Allah ibn Hassan, dia berkata: ‘Aku telah mendengar tradisi yang sama dari ibuku Fatima, putri Husain, dalam nama Khadijah, hanya tradisi ini yang menyebutkan bahwa Khadijah membiarkan Sang Nabi masuk ke dalam pakaiannya, di mana kemudian Jibril menghilang.’”*

* Pengujian wahyu melalui Khadijah mengandung begitu banyak unsur manusiawi. Dia hanya memahami agama secara jasmaniah, tidak secara rohaniah.
Muhammad tidak menentang metode pengujian roh melalui kontak fisik ini. Ini bertolak belakang total dengan pengujian roh-roh dalam Perjanjian Baru (bandingkan 1 Yohanes 4:1-3). Di sini terlihat jelas betapa rendahnya tingkat kesalehan dan pengetahuan yang dimiliki keluarga Muhammad akan Tuhan.

2.03 -- Kebangkitan Komunitas Islam yang Pertama (dimulai sekitar 610 M)

2.03.1 -- Posisi istimewa Khadijah, istri Muhammad

Khadijah percaya kepada Muhammad dan menganggap pewahyuan tersebut benar adanya. Dia mendukung suami dan panggilan hidup suaminya. Khadijah merupakan orang yang pertama percaya kepada Allah, rasul dan pewahyuannya. Melalui dia maka Allah menghibur Muhammad. Seringkali ketika Muhammad mendengar hal yang tidak menyenangkan, mendapat pertentangan, dituduh berbohong dan menjadi putus asa karena, Allah akan menghiburnya melalui Khadijah. Setiap kali Muhammad kembali ke rumah dan kepada Khadijah, dia akan selalu mendapat penghiburan. Khadijak meyakinkan kepercayaannya akan Muhammad dan memberitahukannya bahwa omongan orang-orang tidaklah penting.

Hisham ibn ‘Urwa menceritakan kepadaku mengenai apa yang telah disampaikan oleh ayahnya, yang telah mendengar dari Abd Allah ibn Dja‘far ibn Abi Talib, mengenai perkataan Muhammad demikian: “Aku telah diperintahkan untuk memberitahu Khadijah bahwa ia akan menerima sebuah rumah Qasab, di mana tidak ada keributan maupun kesakitan yang menguasainya” (Qasab adalah sebuah mutiara berongga). Selanjutnya, seorang yang dapat dipercaya berkata kepadaku bahwa Jibril telah mendatangi Muhammad dan berkata kepadanya: “Sampaikanlah salam Tuhan kepada Khadijah!” Ketika Muhammad menyampaikan salam ini, Khadijah berseru: “Allah adalah keselamatan; darinyalah datang keselamatan dan keselamatan atas Jibril!”*

* Khadijah adalah orang yang membantu Muhammad menyadari akan perutusannya, dan terus mendorongnya Muhammad untuk yakin akan panggilan kenabiannya. Adalah seorang wanita yang pertama kali percaya kepada Allah dan rasulnya. Dengan semangatnya sebagai seorang istri, dia membantu suaminya menjadi lebih stabil dan mempengaruhi putri-putri mereka untuk mempercayai pengajarannya. Islam dimulai dalam kerangka kerja sebuah keluarga, sementara Yesus memanggil murid-murid-Nya dari lingkaran pengikut-pengikut Yohanes Pembaptis yang bertobat (Yohanes 1:35-51)

2.03.2 -- Ketika pewahyuan berhenti

Ketika wahyu berhenti untuk satu masa, Muhammad menjadi sangat terganggu.*

* Wahyu-wahyu terhenti selama dua setengah tahun penuh. Hal itu menyebabkan Muhammad merasa putus asa dan yakin bahwa ia telah ditinggalkan dan ditolak oleh Allah. Dia sering pergi ke tebing gunung Hira dengan maksud untuk menjatuhkan dirinya sendiri (Bukhari, Kitabu fada’il al-nabi).

Pada saat itulah Jibril menyampaikan Sura al-Duha 93:1-9 kepadanya. Surat tersebut menyebutkan bahwa Allah, yang telah menunjukkan belas kasihan yang luar biasa kepada Muhammad, bersumpah:

Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Dengan kata-kata ini Allah mengingatkan Muhammad akan belas kasihnya serta bagaimana Allah, melalui perkenanannya, telah mengambil dia keluar dari keadaan yatim piatu, kekhilafan, dan kemiskinan.

2.03.3 -- Awal mula kewajiban melaksanakan shalat

Muhammad kemudian diberi ketetapan untuk shalat, dan dia melakukan shalat. Ia pertama-tama diajarkan bagaimana ritual shalat harus dikerjakan, kemudian Allah menambah ketetapan jumlah sujud bagi setiap orang di rumah menjadi empat kali sujud. Namun bagi mereka yang sedang berada dalam perjalanan, jumlah sujud yang ditetapkan tidak berubah.

Petunjuk mengenai cara shalat dan apa yang harus dishalatkan, Muhammad dapatkan dengan cara demikian: Jibril mendatanginya di sebuah bukit di Mekah, menekan salah satu tumit ke tanah yang menuju arah lembah, kemudian muncullah sebuah sumur yang memancarkan air. Pada sumur itu Jibril membersihkan diri. Muhammad memperhatikannya, melihat bagaimana ia membersihkan diri sebelum melaksanakan shalat. Muhammad lalu mengikuti contoh yang dilihatnya.* Selanjutnya Jibril melaksanakan shalat dan Muhammad mendirikan shalat dengan menggunakan kata-kata yang digunakan oleh Jibril. Setelah Jibril pergi, Muhammad mendatangi Khadijah dan menunjukkan kepadanya bagaimana seseorang harus membersihkan dirinya sebelum shalat. Muhammad lalu shalat, sebagaimana telah ditunjukkan kepadanya oleh Jibril, dan Khadijah juga shalat dengan cara yang sama.**

* Setiap Muslim wajib membersihkan diri sebelum dan sepanjang melakukan shalat. Ritual tersebut ditentukan secara terperinci. Barangsiapa yang tidak memenuhi pembersihan dalam urutan yang benar, shalatnya tidak sah.
Ritual pencucian dalam Islam menjelaskan bahwa di alam bawah sadarnya, seorang Muslim memiliki kesadaran akan rasa bersalah dan dosa dan dia berpikir bahwa tanpa pengampunan akan dosa sebuah shalat tidak dapat dijawab oleh Tuhan. Namun air tidak dapat membersihkan dari dosa. Ritual pencucian Islam hanya merupakan symbol lahiriah, yang tidak memiliki perwujudan batiniah.
Asal praktek shalat lima waktu yang dilakukan saat ini tidak dapat ditemukan asalnya dalam di Quran. Peraturan-peraturan ini didasarkan pada tradisi lisan dari Muhammad.
** Doa di dalam Islam tidak berisi percakapan yang bebas dan terbuka dengan Tuhan sang Bapa; yang berupa permohonan dan syafaat, pujian dan penyembahan, akan tetapi lebih menyerupai perwujudan dari sebuah liturgi yang telah ditentukan secara tertulis, kaku, dan berurutan bagi Allah yang agung, jauh dari umatnya dan tidak dikenal. Muhammad tidak mengenal doa yang bersifat spiritual. Roh di dalam dirinya tidak berdoa. Malaikat Jibril berdoa di hadapannya dan Muhammad hanya mengulang kata-kata yang ia dengar (Surah al-Fatiha 1:1-7).

Jibril telah menentukan kepada Muhammad shalat lima waktu demikian: shalat tengah hari dilakukan ketika matahari mulai bergerak ke arah barat. Shalat sore dilaksanakan ketika panjang bayangan sama dengan tinggi badan. Shalat petang dilakukan ketika matahari mulai terbenam dan yang terakhir, yaitu shalat malam, dilakukan ketika warna merah matahari telah menghilang. Shalat pagi hari dilakukan saat sinar fajar merekah, shalat tengah hari kembali diulang ketika bayangan seseorang sama dengan tinggi badannya, shalat sore hari ketika panjang bayangan dua kali lebih panjang dari tinggi badan. Shalat petang dilanjutkan seperti hari sebelumnya, ketika matahari terbenam, dan shalat malam, ketika sepertiga malam telah berlalu. Kemudian dilanjutkan kembali dengan shalat pagi – begitu hari yang baru telah dimulai – namun sebelum matahari terlihat di cakrawala.*

* Hari-hari seorang Muslim terikat pada penyembahan kepada Allah. Doa Islamiah dengan kuat melekatkan seorang Muslim kepada sebuah budaya theosentrik. Sebanyak 34 kali dalam satu hari, di dalam 5 ritual shalatnya, seorang Muslim menjatuhkan diri ke tanah di hadapan Allah. Oleh sebab itu, dia tidaklah bebas, tetapi menyerahkan dirinya kepada Allah – yakni menjadi seorang Muslim. Kelima waktu shalat merupakan tulang punggung Islam. Penyembahan Muslim menunjukkan perwujudan Islam.
Doa-doa Islamiah ini tidak bersifat rohaniah atau doa pribadi yang dilakukan sebagai tanggapan atas Firman Tuhan. Akan tetapi, doa-doa itu berisi formula yang telah ditentukan dan ditetapkan, yang menuntut pengulangan, ketaatan dan disiplin. Bentuk penyembahan legalistik ini merupakan sebuah doa bagi budak, bukan untuk manusia merdeka yang diijinkan untuk memanggil Tuhan sebagai Bapa mereka.

Jibril kemudian berkata kepada Muhammad: “Waktu untuk melakukan shalat terletak di antara waktu kamu berdoa kemarin dan hari ini.”

2.03.4 -- Ali, keponakan Muhammad, laki-laki beriman yang pertama

Laki-laki pertama yang percaya kepada Muhammad, yang melakukan shalat bersama dengannya dan percaya wahyunya merupakan kebenaran, adalah ‘Ali ibn Abi Talib ibn Abd al-Muttalib ibn Hashim, yang saat itu berusia sepuluh tahun. Allah berbelas kasih kepadanya, bahkan sebelum Islam muncul, di mana dia sudah tinggal bersama Muhammad.*

* Ali adalah sepupu Muhammad, sekaligus anak angkat dan kemudian menjadi menantunya dengan menikahi Fatima, puteri Muhammad. Dia menjadi kalifah keempat. Pengikut Ali dan keluarganya berharap dia terpilih menjadi penerus langsung Muhammad. Islam terbagi menjadi dua kubu, Sunni dan Syiah, karena isu kontroversial mengenai kedua anak Ali, Hassan dan Hussein. Kelompok Syiah menganggap Ali sebagai Imam mereka yang pertama.

Adalah suatu kehendak dan anugerah ilahi atas Ali karena suatu waktu suku Quraish menderita akibat bencana kekeringan yang hebat. Melihat Abu Talib memiliki banyak anggota keluarga, maka Muhammad berkata kepada pamannya al-‘Abbas, yang merupakan orang terkaya di antara Bani Hashim: “Engkau tahu bahwa saudaramu, Abu Talib, memiliki keluarga yang besar dan semua orang menderita karena kekeringan ini. Oleh sebab itu marilah kita pergi menjumpainya dan memberinya keringanan dengan mengambil satu anak laki-laki bagiku dan bagimu.” Al-‘Abbas menyetujuinya. Dia pergi bersama Muhammad menemui Abu Talib. Mereka memberitahukan kepadanya bahwa mereka datang untuk memberi bantuan hingga waktu-waktu sulit ini berlalu. Abu Talib menjawab: “Jika engkau membiarkan ‘Aqil tetap tinggal bersamaku, maka lakukanlah apa yang kamu hendak lakukan.” Muhammad mengambil ‘Ali dan memeluknya; al-‘Abbas melakukan hal yang sama terhadap Ja’far. Dengan demikian, ‘Ali mulai tinggal bersama Muhammad. Dia menaatinya, mempercayainya, dan menganggapnya jujur. Sementara itu, Ja’far, tinggal bersama al-‘Abbas sampai dia masuk Islam dan tidak lagi membutuhkan pamannya.

Beberapa sarjana menyatakan bahwa ketika waktu untuk shalat tiba, Muhammad mencari tempat di lembah di sekitar Mekah. ‘Ali menemani dan shalat bersamanya, tanpa sepengetahuan ayah atau orang-orang dari suku bangsanya. Pada malam hari mereka akan pulang bersama-sama. Hal ini terjadi hinga suatu hari mereka melaksanakan shalat, tanpa menyadari bahwa Abu Talib mengetahuinya*. Abu Talib lalu bertanya kepada Muhammad: “Agama apa yang engkau percayai ini?” Muhammad menjawab: “Ini adalah agama Allah, malaikatnya dan rasul-rasulnya. Ini adalah agama dari leluhur kita, Abraham, di mana Allah telah mengutus aku kepada bangsa-bangsa. Engkau, pamanku, merupakan orang yang paling pantas untuk menerimanya sehingga aku akan menuntun dan membimbingmu. Engkaulah yang paling pantas untuk mengikuti panggilanku dan membantuku.” Abu Talib menjawab: “Keponakanku, aku tidak bisa meninggalkan iman leluhurku. Tetapi, demi Allah, selama aku hidup tidak ada orang yang akan mencelakaimu.” Lalu, dikisahkan pula bahwa Abu Talib bertanya kepada ‘Ali: “Apakah ini merupakan imanmu, anakku?” ‘Ali telah menjawab: “Aku percaya kepada rasul Allah, bapaku, dan percaya wahyunya adalah benar. Aku melakukan shalat kepada Allah bersamanya dan mengikutinya.” Dikisahkan bahwa kemudian Abu Talib menjawab: “Tentulah dia hanya akan memberi hal-hal yang membawa kebaikan kepadamu, jadi tetaplah bersama dia!”

* Ketika jumlah Muslim menjadi besar dan mencakup orang-orang di luar keluarga Muhammad, mereka bertemu untuk shalat di lembah yang sunyi. Pada mulanya, mereka tidak berani untuk mempraktekkan shalat secara terbuka.

2.03.5 -- Budak Muhammad yang dibebaskan, Zaid ibn Haritha, menjadi pria kedua yang memeluk Islam

Sesudahnya, Zaid ibn Haritha, budak Muhammad yang dibebaskan, menganut Islam. Dia adalah pria dewasa pertama yang menjadi mualaf. Hakim ibn Hizam ibn Khuwailid membawanya dari Suriah sebagai seorang pemuda yang mendekati usia dewasa. Ketika bibinya, Khadijah – yang pada saat itu telah menjadi istri Muhammad – mengunjunginya, dia memberikan Khadijah seorang budak pilihan Khadijah sendiri. Pilihannya jatuh kepada Zaid. Ketika Muhammad melihat Zaid bersama Khadijah, dia meminta Zaid bagi dirinya sendiri. Khadijah memberi Zaid kepada suaminya dan Muhammad memberinya kebebasan. Sebagai tambahan, Muhammad mengangkat Zaid sebagai anaknya. Ini terjadi sebelum pengutusan (kenabiannya). Di kemudian hari, Haritha bertemu dengan anak laki-lakinya, Zaid, bersama Muhammad. Muhammad berkata kepada Zaid: “Jika engkau mau, tetaplah bersamaku, jika tidak, pergilah bersama ayahmu.” Zaid memilih untuk tetap tinggal bersama Muhammad. Ketika Allah mengutus Muhammad menjadi nabi, Zaid percaya kepadanya, menjadi seorang Muslim, dan shalat bersamanya. Kemudian, ketika Allah memberikan perintah untuk: “menamai anak-anak angkat berdasarkan nama ayah-ayah mereka,” dia dikenal sebagi Zaid ibn Haritha.

2.03.6 -- Pertobatan dan semangat Abu Bakr, mertua Muhammad di masa depan

Sesudah itu, Abu Bakr bin Abi Quhafa, yang juga dipanggil ‘Atiq, menjadi pengikut Islam. Nama ayahnya adalah Uthman. Nama asli Abu Bakr adalah Abd Allah, sementara “’Atiq” adalah nama panggilan yang dia terima karena wajahnya yang cantik dan terlihat seperti keturunan ningrat. Ketika Abu Bakr menjadi seorang Muslim, dia mengakui Islam secara terbuka, dan mengajak orang lain untuk mempercayai Allah dan rasulnya. Abu Bakr adalah seorang pria yang menyenangkan, bersahabat dan disenangi oleh semua orang. Dia adalah yang paling terpelajar di antara suku Quraish dan yang paling memiliki informasi paling lengkap mengenai kekuatan dan kelemahan leluhur suku Quraish. Dia adalah seorang pedagang yang baik hati dengan moral yang baik. Orang-orang dari sukunya sering mendatanginya untuk meminta nasehat mengenai masalah bisnis mereka, karena dia memiliki pengalaman yang luas mengenai perdagangan dan urusan-urusan lainnya. Kelakuannya sangat menyenangkan kepada semua orang. Dia memanggil semua orang yang menaruh kepercayaan kepadanya dan meminta mereka untuk mengikuti Islam.

Karena ajakan Abu Bakr, Uthman ibn ‘Affan menjadi seorang mualaf, demikian juga Zubair ibn al-Awwam, Abd al-Rahman ibn Auf, Sa‘d ibn Abi Waqqas dan Talha ibn ‘Ubaid Allah. Ketika mereka memenuhi panggilan Abu Bakr untuk menemuinya, dia pergi bersama mereka dan mendatangi Muhammad. Mereka mengakui Islam dan shalat bersamanya. Muhammad dikatakan telah berkata: “Selain Abu Bakr*, tidak seorangpun yang aku panggil kepada Islam yang tidak memiliki keengganan, keraguan, dan penolakan. Abu Bakr adalah satu-satunya orang yang tidak memiliki penolakan dan tidak menunjukkan sikap keraguan.”

* Abu Bakr, sang pedagang berpengalaman, kadang-kadang disamakan dengan Petrus karena kejujurannya. Setelah kematian Muhammad, dia menjadi batu karang di mana umat Muslim yang lain berkembang. Selama masa-masa yang kritis ini, Abu Bakr menyatukan Islam. Dia adalah salah seorang sahabat dekat Muhammad dan salah satu dari ayah mertuanya. Anaknya, Aisha, menjadi istri kesayangan Muhammad. Aisha dinikahkan kepada Muhammad pada usia sembilan tahun. Ketika Muhammad meninggal, dia baru menginjak usia 18 tahun.

These eight men led the way for all other believers in Islam. They prayed and believed in Muhammad and in his divine revelation.Kedelapan orang ini yang memimpin jalan bagi orang-orang lain untuk percaya kepada Islam. Mereka melaksanakan shalat dan percaya kepada Muhammad dan pada wahyu ilahinya.

2.04 -- Perlawanan Masyarakat Mekah (dimulai sekitar 613 M)

2.04.1 -- Penyebaran Islam di antara anggota suku

Pada waktu-waktu berikutnya, semakin banyak pria dan wanita memeluk Islam. Di Mekah kelompok baru tersebut menjadi bahan pembicaraan. Tiga tahun setelah pengutusannya, Muhammad menerima perintah dari Allah untuk secara terbuka menyatakan mengenai pewahyuan yang ia terima, memperkenalkan Islam kepada masyarakat dan menjadikan mereka pengikut Islam. “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Surah al-Hijr 15:94) “Dan katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.” (Surah al-Hijr 15:89) “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” Surah al-Shu’ara’ 26:214-215).

Pada tahun-tahun pertama perkembangan Islam, sahabat-sahabat Muhammad menuruni tebing yang tersembunyi dan menyembunyikan shalat mereka dari masyarakat. Suatu hari, ketika Sa’d ibn Abi Waqqas dan sahabat-sahabat Muhammad lainnya sedang shalat di salah satu jurang di Mekah, di sana muncul beberapa penyembah berhala yang mulai memperdaya mereka dan menantang mereka untuk bertarung dengan penghinaan menghina. Pada saat itu Sa’d ibn Abi Waqqas melukai salah satu penyembah berhala dengan menggunakan tulang rahang seekor keledai. Darah orang itu adalah darah pertama yang tertumpah dalam penyebaran Islam.

Ketika Muhammad berterus terang tentang agamanya, masyarakatnya tidak mengucilkan dia dan tidak pula menentang dia hingga akhirnya dia menyinggung tentang dewa-dewa mereka dan meremehkan mereka. Pada saat itulah mereka mulai menolak dia dan menunjukkan permusuhan, kecuali mereka yang telah Allah lindungi melalui Islam. Namun, kelompok ini hanya dalam jumlah kecil dan dibenci.

2.04.2 -- Muhammad di bawah perlindungan pamannya, Abu Talib

Di dalam konflik ini, paman Muhammad yang bernama Abu Talib menaruh belas kasihan dan melindungi keponakannya. Muhammad menaati perintah Allah dan tidak membiarkan orang lain menarik pernyataan imannya. Ketika suku Quraishi dengan berat hati mengakui bahwa sikap Muhammad tidak akan melunak dalam segala hal, dan bahwa ia dengan teguh akan terus mengecam ilah-ilah mereka, dan bahwa Abu Talib dengan baik hati mendukung dan tidak akan menyerahkan keponakannya, beberapa anggota suku yang terhormat menemui Abu Talib dan berkata kepadanya: “Keponakanmu, oh Abu Talib, merendahkan ilah-ilah kami, menghina iman kami, memperdaya anak muda dan menyesatkan ayah-ayah kami. Tahanlah dia atau serahkan dia kepada kami, karena engkau dan kami memiliki pendapat yang berbeda darinya, dan kami akan memastikan engkau akan terlepas dari dirinya.”* Namun, Abu Talib berbicara dengan kata-kata yang baik kepada mereka dan menyanggah perkataan mereka dengan penjelasan yang ringan, sehingga mereka pergi.

* Rencana melawan Muhammad mulai meruncing. Di dalam radikalismenya hal tersebut menyerupai konspirasi Farisi melawan Yesus dan murid-murid-Nya. Hanya Abu Talib dan Khadijah yang melindungi kerabat mereka di tengah-tengah semua penganiayaan tersebut.

Sementara itu Muhammad terus menyatakan kepercayaan kepada Allah dan mengajak yang lainnya memeluk Islam. Ketegangan antara dirinya dan suku Quraish terus bertumbuh. Mereka menghindari dan membenci Muhammad, menggunjingkannya dan saling membujuk satu sama lain untuk membencinya. Sekali waktu mereka menemui Abu Talib dan berkata: “Engkau adalah seorang yang terhormat dan menduduki posisi tinggi di antara kami. Kami pernah satu kali meminta engkau untuk menghentikan kegiatan yang dilakukan keponakanmu terhadap kami. Namun engkau tidak melakukannya. Demi Allah, kami tidak akan lagi menyabarkan diri melihat dia meremehkan ayah-ayah kami, memperdaya kaum muda kami atau mengutuki ilah-ilah kami. Jauhkanlah dia dari kami atau kami akan melawan kalian berdua, hingga engkau atau kami yang binasa.”

Sesudah itu mereka pergi. Abu Talib sangat terganggu oleh perpecahan yang terjadi di antara suku bangsanya. Tetapi dia tidak dapat dan tidak ingin menyerah terhadap keinginan mereka dan menyerahkan Muhammad. Maka Abu Talib menjumpai Muhammad dan mengulangi perkataan mereka dan berkata: “Kasihanilah aku dan dirimu sendiri dan jangan membebaniku lebih dari apa yang dapat aku tanggung!”

Muhammad berpikir bahwa pamannya telah memutuskan untuk menarik dukungan dan menyerahkannya, karena merasa terlalu lemah untuk melindunginya. Oleh sebab itu dia berkata: “Demi Allah, jika mereka dapat menyebabkan matahari terbenam di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku dan menuntutku untuk mengabaikan perkaraku sampai Allah menjadikannya jelas atau aku hilang, aku tetap tidak akan menyerah.” Kemudian dia menangis* dan berdiri. Ketika dia hendak pergi, Abu Talibmenahannya dan berkata: “Pergilah, dan beritakanlah apa yang engkau inginkan. Aku tidak akan, demi Allah, menyerahkanmu.”

* Injil melaporkan bahwa Yesus menangis lebih dari satu kali (Lukas 19:41; Yohanes 11:35). Hal tersebut bukan karena mengasihani diri sendiri, tetapi karena ketegaran hati orang-orang, karena kuasa kematian yang mengerikan dan karena belas kasihan pada orang-orang, dalam pandangan kedatangan penghakiman Tuhan.

Ketika suku Quraish melihat bahwa Abu Talib tidak akan menarik dukungan terhadap utusan Allah dan tidak akan menyerahkan dia; Abu Talib cenderung terlihat akan memutuskan hubungan dengan mereka dan menjadikan mereka musuh, mereka menemuinya dengan membawa Umara ibn al-Walid dan berkata: “Ini adalah Umara ibn al-Walid, remaja Quraish yang paling berani dan santun. Ambillah dia, pergunakan dan pekerjakan dia sebagai pembantu dan serahkanlah keponakanmu kepada kami, yang telah berlaku tidak setia kepadamu dan kepada iman ayahmu. Dia telah meninggalkan bangsamu dan memperdaya kaum muda, sehingga kami akan membunuh dia. Dia hanyalah seorang manusia seperti yang manusia lainnya.”

Abu Talib menjawab: “Demi Allah, engkau menuntut dariku sesuatu yang tidak berharga. Engkau ingin memberikan putramu agar aku memeliharanya, dan aku harus memberikan kepadamu anakku supaya engkau dapat membunuhnya. Demi Allah, tidak ada hal baik yang akan kita peroleh dari hal tersebut!”

Kemudian al-Mut’im ibn Adi berkata: “Demi, Allah, anggota sukumu melakukan hal yang benar dengan menentangmu dan mencoba menyelamatkan engkau dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun aku melihat bahwa tidak ada satupun hal yang mereka tawarkan kepadamu yang berkenan bagimu.” Abu Talib menjawab: “Demi Allah, engkau salah menilaiku, namun tampaknya engkau telah menetapkan untuk mengabaikanku dan bersama-sama dengan yang lain, engkau menentangku. Lakukanlah apa yang menurutmu baik!”

Pertengkaran menjadi semakin kuat. Setiap orang membawa senjata guna menghadapi pertempuran dan melawan satu sama lain. Setiap suku mencoba menghalangi sahabat-sahabat Muhammad dari iman mereka. Beberapa dari mereka diperlakukan dengan buruk.

Namun Muhammad dilindungi oleh pamannya Abu Talib. Ketika Abu Talib melihat sikap suku Quraish yang menentang orang-orang beriman, ia memanggil juga Bani Hashim dan Muttalib untuk memberikan perlindungan bagi Muhammad dan mendukung dia. Mereka mengikuti permintaaanya dan bergabung dengannya, kecuali Abu Lahab – musuh Allah yang hina.

* Hukum suku mewajibkan anak-anak Abd al-Muttalib bertanggung jawab untuk melindungi Muhammad, meskipun mereka tidak mempercayai misinya. Hukum Arab dari keluarga besar Muhammad-lah yang menyelamatkan Islam.

2.04.3 -- Fitnah yang dilancarkan Suku Quraish terhadap Muhammad

Pada suatu kesempatan sejumlah suku Quraish berkumpul di sekeliling Walid ibn al-Mughira, seorang tetua suku. Ia berkata: “Hari-hari raya sudah mendekat; karavan suku Bedouin akan datang. Mereka telah mendengar tentang Muhammad. Oleh sebab itu, buatlah sebuah kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan terhadap Muhammad. Apakah orang saling menyanggah satu sama lain? Janganlah berselisih pendapat, dengan demikian tidak ada orang yang menuduh sesamanya melakukan kebohongan.” Lalu mereka berkata: “Engkau yang berbicara, ayah dari Abd Sham. Kami ingin menyetujui pandanganmu.” Namun ia menjawab mereka: “Kalian yang berbicara. Aku hendak mendengar kalian!”

Mereka kemudian berkata: “Kami ingin mengatakan bahwa ia adalah seorang peramal (kahin)*.” A-Mughira lalu menjawab: “Tidak, demi Allah dia bukanlah seorang peramal! Dia merapal dan tidak memiliki bahasa yang ritmis sebagaimana mereka lakukan!”

* Kahin: Surah al-Tur 52:29; al-Haqqa 69:42.

“Baiklah”, kata mereka, “kalau begitu kami akan menyatakan dia sebagai seseorang yang kerasukan (majnun)*.” Atas hal tersebut Walid menjawab: “Dia tidak kerasukan. Dia tidak seperti mereka yang hampir tercekik, tidak berbisik-bisik atau melantur.”

* Majnun: Lihat Surash al-Saffat 37:36; al-Dukhan 44:14; al-Tur 52:29; al Qalam 68:2; al-Takwir 81:22).

Suku Quraish lalu berpikir: “Baiklah, maka kami akan menyebutnya seorang penyair (sha’ir)*.” Tetapi atas hal tersebut ia membalas: “Dia bukan seorang penyair. Kami tahu puisi dengan berbagai bentuk ritmenya, tetapi kata-katanya bukanlah puisi.”

* Sha‘ir: Surah al-Saffat 37:35; al-Tur 52:30; al-Haqqa 69:42.

“Baiklah”, mereka membantah, “maka kami akan katakan bahwa ia adalah seorang tukang sihir (saahir)*.” Walid ibn al-Mughira menjawab: “Dia bukan seorang tukang sihir. Kami telah menyaksikan tukang-tukang sihir melakukan sihir mereka. Dia tidak berbisik sebagaimana yang mereka lakukan atau membuat simpul seperti yang mereka lakukan.”

* Sahir: Surah Yunus 10:2; al-Hijr 15:15; Sad 38:4 (Mashur, bentuk kata pasif dari Sahir: Surah al-Isra‘ 17:50; al-Furqan 25:9; al-Dukhan 44:13; al-Takwir 81:25).
Dari ayat-ayat Quran, dapat dilihat bahwa penghuni Mekah mellihat Muhammad seperti seseorang yang terganggu secara mental, seperti mereka takut kepada orang gila atau tukang sihir.

Mereka kemudian bertanya: “Baiklah, ayah dari Abd Sham, apa yang harus kami katakan?” Dia menjawab:”Demi Allah, kata-kata dalam khotbahnya terdengar manis. Garis keluarganya sangat baik dan keturunan-keturunannya bagaikan sebuah taman. Mengenai hal ini kalian tidak dapat mengatakan sesuatu dianggap memperkatakan sesuatu yang salah. Tetapi yang paling tepat adalah mengatakan ia seperti seorang dukun, karena khotbahnya seperti sihir, dalam karena itulah pria dipisahkan dari ayahnya, dari saudara laki-lakinya, dari istrinya dan dari keluarganya!”

Setelah mencapai kesepakatan, mereka kemudian berpisah. Ketika masa perayaan sudah dekat, mereka duduk di sepanjang jalan yang dilalui oleh para peziarah. Di sana mereka memperingatkan tiap orang mengenai Muhammad dan memberitahu bahwa dia adalah seorang dukun. Mereka memberitahukan setiap orang yang mereka jumpai mengenai segala hal yang telah mereka rekayasa mengenai Muhammad. Dengan cara demikian semua orang yang berasal dari suku Bedouin pulang ke rumah dari perayaan dengan membawa pengetahuan mengenai kenabian Muhammad. Mereka membicarakannya di seluruh Arabia.

Seiring dengan tersebarnya berita tentang Muhammad di antara suku Bedouin yang disebarkan ke seluruh provinsi, mereka mulai membicarakan Muhammad di Medina. Suku Aus dan Khazraj yang mendiami Medina merupakan suku yang sangat mengenal Muhammad. Sebelumnya mereka telah mendengar tentang dia dari rabi-rabi Yahudi, yang tinggal di antara mereka dan berada di bawah perlindungan mereka.

2.04.4 -- Perlakuan Suku Quraish terhadap Muhammad

Suku Quraish menjadi semakin geram akibat kesulitan-kesulitan yang mereka alami karena kebencian mereka terhadap Muhammad. Mereka menghasut orang-orang yang paling kasar dan berani di antara mereka untuk melawan Muhammad. Mereka menyebutnya seorang pendusta, menganiaya dia, dan di hadapan umum menuduhnya sebagai seorang dukun, seorang penyair, peramal dan seorang yang kerasukan. Namun, Muhammad memenuhi perintah Allah dengan cara berbicara secara lantang mengenai hal-hal yang tidak ingin didengar masyarakat. Dia mencerca kepercayaan mereka, menolak ilah-ilah mereka, dan memisahkan diri dari mereka yang dianggap sebagai orang yang tidak beriman.

Mereka mengatakan: “Kami belum pernah mengalami hal seperti ini. Dia menyebut kami orang bodoh, memfitnah ayah kami, mencerca iman kami, memecah belah rakyat kami dan menghujat ilah-ilah kami. Adalah sebuah kenyataan bahwa kami sangat menderita karena dia.”

Abd Allah ibn Umar ibn al-‘As menjawab: “Sementara mereka berbicara tentang hal-hal tersebut, Muhammad muncul, memegang pilar-pilar tempat suci dan mereka mulai mengelilingi bangunan tersebut, serta melewati mereka. Melihat raut wajahnya, saya dapat mengatakan bahwa mereka telah menghina dia. Saya juga mengamati hal yang sama ketika dia melewati mereka untuk kedua dan ketiga kalinya. Kemudian sembari berdiri, dia berkata: “Dengarlah, kamu sekalian kelompok Quraish, demi dia yang di dalam kuasanya jiwaku berada; aku mendatangimu dengan sayatan seorang penjagal** (menjagal dengan memotong leher)!”

*Kata-kata ini mengandung sebuah ancaman atau kutukan, di mana Muhammad meramalkan kejatuhan suku Quraish. Maksud dari kata-katanya adalah melakukan balas dendam.
Yesus, juga, membersihkan kuil demi kehormatan Bapa-Nya. Namun, Dia tidak bermaksud untuk mengembalikan kehormatan-Nya sendiri. Dia tidak mengancam para pedagang dan saudagar dengan kematian, tetapi membuang uang mereka ke tanah dan memerintahkan mereka untuk melepaskan binatang-binatang korban mereka.

Orang-orang mendengar kata-kata ini dan hal tersebut dianggap seperti seekor burung yang hinggap di atas kepala mereka. Bahkan orang yang paling kasar di antara mereka sekarang berkata kepadanya dengan kata-kata yang paling lembut, mengatakan: “Pergilah, Abu al-Qashim, demi Allah engkau bukanlah orang bodoh”. Karena mendengar hal tersebut, Muhammad kemudian meninggalkan mereka. Pada keesokan harinya mereka berkumpul kembali di tempat suci tersebut. Aku berada di antara mereka dan mendengar mereka saling berbisik: “Apakah engkau ingat apa yang engkau lakukan terhadapnya dan yang ia lakukan terhadapmu, dan bahwa ia memberi engkau pengertian yang tidak menyenangkan, namun engkau membiarkannya pergi?”

Ketika mereka berbicara Muhammad muncul. Mereka mengambil keputusan atas diri Muhammad, mengelilinginya dan bertanya: “Apakah engkau sungguh telah menghina ilah-ilah dan iman kami?” Dia menjawab: “Ya!” Kemudian aku melihat bagaimana salah satu dari mereka mencengkeram di tempat di mana ia melipat jubahnya. Abu Bakr menghampiri orang tersebut sambil menangis dan berkata: “Apakah engkau akan membunuh seorang yang memanggil Allah sebagai tuannya?” Setelah itu mereka semua pergi. “Kejadian tersebut merupakan hal paling buruk yang pernah mereka lakukan terhadap Muhammad.”

Umm Kulthum, puteri Abu Bakr, memberitahu kami bagaimana kelanjutan dari peristiwa tersebut: “Ketika ayahku kembali ke rumah pada hari itu, sebagian kepalanya botak, mereka telah menarik begitu banyak rambut dan janggutnya.”

Seorang yang terpelajar juga melanjutkan: “Satu hari ketika Muhammad keluar, setiap pria, baik pria merdeka maupun budak, memanggil dia seorang penipu dan menghina dia. Dia lalu kembali ke rumah dan menutupi dirinya. Kemudian Allah berbicara kepadanya: “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan!” (Surah al-Muddassir 74:1-2)

2.04.5 -- Pertobatan Hamza

Abu Jahl berpapasan dengan Muhammad di Safaa, di mana ia mengutuk dan menghina Muhammad karena agama barunya serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Muhammad tidak menjawab dengan sepatah kata. Seorang wanita milik Abd Allah ibn Judan yang telah dibebaskan, yang duduk di sekitar mereka, mendengar semua perkataan Abu Jahl. Abu Jahl melanjutkan perjalanan menuju pertemuan suku Quraish di Ka’ba dan duduk di antara yang lainnya. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Hamza kembali dari perburuan dengan busur yang tergantung di badannya. Dia senang berburu dan merupakan seorang pemburu yang handal. Adalah sebuah kebiasaannya apabila ia kembali dari berburu, dia tidak akan kembali ke rumah sebelum mengelilingi Ka’ba terlebih dahulu. Ketika ia datang ke pertemuan suku Quraish, dia tetap berdiri, menyapa mereka dan kemudian berbincang-bincang dengan mereka. Dia adalah salah seorang pria paling kuat dan perkasa di antara suku Quraish.

Ketika ia melewati para wanita (sang nabi telah pulang ke rumah), wanita milik Abd Allah ibn Judan yang telah dibebaskan berkata kepadanya: “O Abu Umara, jika saja engkau melihat bagaimana keponakanmu, Muhammad diperlakukan oleh Abu al-Hakam Ibn Hisham! Pria ini menghina dan memfitnah dia. Kemudian ia pergi tanpa Muhammad menjawab sepatah kata pun.”

Karena Allah hendak memberkati Hamza dengan rahmatnya, ia menjadi marah. Secepat kilat dia berlalu dan bertekad menyerang Abu Jahl jika ia bertemu dengannya. Ketika ia tiba di tempat suci dia melihatnya sedang duduk disana bersama yang lainnya. Dia menhampirinya dan memberikan pukulan yang dengan menggunakan busurnya. Kemudian ia berseru: “Akahkah engkau tetap menghinanya jika aku mengakui imannya dan menjadikan kata-katanya sebagai kata-kataku sendiri? Pukul aku kembali bila engkau berani!” Beberapa orang di antara suku Makhzumite berdiri untuk memberikan dukungan kepada Abu Jahl. Tetapi ia menjawab: “Tinggalkan Abu Umara dalam damai, karena demi Allah, aku dengan jahat telah menyinggung keponakannya.” Hamza menjadi seorang Muslim dan mengikuti pengajaran Muhammad dalam segala hal. Suku Quraish mengetahui bahwa dengan adanya Hamza, Muhammad telah mendapatkan bantuan yang luar biasa, sehingga di masa mendatang sikap dan celaan yang mereka tujukan kepada Muhammad melunak.*

* Komunitas Islam bertumbuh dengan bantuan pria-pria kuat yang siap untuk berperang dan yang dihormati oleh semua orang. Mereka memperoleh kebaikan dan rasa hormat dari masyarakat bukan karena kasih atau kesediaan mereka untuk berkorban – sikap yang menurut laporan dimiliki oleh orang-orang Kristen mula-mula (Kisah Para Rasul 2:47; 3:11; 5:12-16), akan tetapi berhasil melalui kekuatan peperangan yang terus meningkat.

2.04.6 -- ‘Utba ibn Rabi‘a mempercayai Muhammad

Setelah Hamza berpindah keyakinan dan jumlah pengikut Muhammad bertambah, ‘Utba ibn Rabi’a berbicara pada saat pertemuan suku Quraish: “Tidakkah aku perlu mendatangi Muhammad dan mengajukan beberapa hal tertentu, yang mungkin akan ia terima, sehingga ia tidak mengganggu kita dengan kepercayaannya lagi?” Mereka memberikan ijin kepadanya untuk pergi dan berbicara kepada Muhammad. ‘Utba bangkit kemudian pergi dan mendatangi Muhammad yang sedang duduk sendirian di tempat suci, dan berkata kepadanya: “Tahukah engkau, sepupuku, bahwa engkau menempati posisi yang terhormat di dalam kelompok kita. Namun sekarang, engkau telah menjadi sebuah beban yang berat, yang memecah belah kami, mempermalukan kami seolah-olah kami adalah orang bodoh, menghujat para ilah, menjelekkan agama dan menuduh leluhur yang telah tiada sebagai orang tidak beriman. Dengarkanlah aku. Aku akan memberikan beberapa saran kepadamu, yang harus engkau pertimbangkan. Barangkali satu atau hal yang lainnya dapat engkau terima.” Muhammad menjawab: “Bicaralah, Abu al-Walid, aku ingin mendengarmu.”

Dengan demikian ‘Utba mulai bicara: “Jika engkau ingin mendapatkan uang dengan niatanmu, maka kami akan mengumpulkan uang yang berlimpah untuk menjadikan engkau orang yang paling kaya di antara kami. Jika yang engkau cari adalah kehormatan, kami akan menjadikanmu pimpinan tetua kami, sehingga tidak ada satu hal pun yang dapat disetujui tanpa persetujuanmu. Kami bahkan rela untuk mengakuimu sebagai pangeran kami, jika itu adalah hasratmu. Jika ada roh yang menghampirimu dan tidak dapat engkau usir, maka kami akan memanggil seorang tabib dan memberikan barang-barang kami kepadamu hingga engkau disembuhkan; karena seringkali sebuah roh mengambil alih seseorang sampai ia disembuhkan.”*

* Di dalam godaan ini Muhammad ditawari uang, kehormatan, kekuasaan dan kesembuhan. Dia menolak semuanya dan tetap setia dengan iman dan prinsipnya.
Godaan yang dialami Yesus berbeda dengan godaan yang dialami Muhammad, sesuai dengan kenyataan bahwa pribadi Yesus lebih besar daripada pribadi Muhammad (Matius 4:1-11). Setan sendiri yang mencobai Yesus, menawari-Nya semua harta dan kekayaan dunia ini. Namun Yesus menolak semua tawaran iblis tersebut. Dia tidak ingin memenangkan orang untuk diri-Nya sendiri melalui kekayaan maupun mujizat, tetapi untuk penebusan manusia melalui kematian-Nya.

Ketika ‘Utba selesai berbicara, Muhammad menjawab: “Jika engkau telah selesai, sekarang dengarkan aku: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” (Surah Fussilat 41:1-4). Muhammad kemudian melanjutkan dengan membacakan kepadanya sebuah Surah dari Quran, dan ‘Utba mendengarkan dengan seksama, menyandarkan dirinya dengan kedua tangannya di belakang punggung. Ketika Muhammad mencapai ayat: “Sembahlah Allah!” (Surah Fussilat 41:37) ‘Utba bersujud di atas tanah dengan Muhammad. Kemudian Muhammad berkata kepadanya: “Engkau sekarang telah mendengar apa yang telah engkau dengar; sekarang engkau tahu apa yang harus engkau lakukan.”

‘Utba kembali kepada teman-temannya, dimana yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Demi Allah, kami bersumpah bahwa ‘Utba kembali dengan wajah yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan pada saat ia pergi.” Setelah dia kembali duduk bersama dengan mereka mereka bertanya kepadanya: “Apakah yang engkau bawa?” Dia menjawab: “Demi Allah, aku telah mendengar kata-kata yang belum pernah menghampiri telingaku sebelumnya. Kata-kata itu tidak berhubungan dengan puisi, sihir ataupun tenung. Oleh karena alasan itu, percayalah padaku, ikutlah aku, dan tinggalkanlah Muhammad dalam damai. Kata-kata yang aku dengar darinya akan memberi kesan yang hebat. Jika suku Bedouin berseteru dengannya, maka engkau akan mendapatkan kedamaian darinya melalui orang lain. Tetapi jika ia menang atas dirimu, maka kekuasaannya juga adalah kuasamu, kekuatannya merupakan kekuatamu, dan engkau akan menjadi orang paling bahagia karena dia.”

Mereka lalu berteriak: “Demi Allah, dia telah menenungmu dengan lidahnya!” Dia membalas: “Ini adalah pandanganku. Lakukanlah sekarang apa yang engkau pikir baik.”

2.04.7 -- Meningkatnya perselisihan antara Muhammad dan Suku Quraish

Islam mulai menyebar di Mekah, baik di antara para keluarga maupun kaum suku Quraish. Namun, suku Quraish menahan orang-orang yang berada di dalam kekuasaannya dan berusaha untuk membuat mereka meninggalkan iman Islam mereka. Suatu hari, sesudah matahari terbenam berkumpullah suku Quraish di tembok belakang Kabah, yaitu: ‘Utba ibn Rabi’a, Schaiba ibn Rabi’a, Abu Sufyan ibn Harb, al-Nadr ibn al-Harith ibn Kalada, a brother of the Banu Abd al-Dar, Abu al-Bakhtari Ibn Hisham, al-Aswad ibn al-Muttalib ibn Asad, Zama‘a ibn al-Aswad, al-Walid ibn al-Mughira, Abu Djahl Ibn Hisham, Abd Allah ibn Abi Umaiyya, al-‘As ibn Wa‘il, Nubaih dan Munabbih, putra-putra Hajjaj, dari suku Sahmit, dan Umaiyya ibn Khalaf. Selain dari itu hadir pula mereka yang paling mulia dari setiap suku.

Diputuskan untuk mengirim orang suruhan kepada Muhammad untuk melawan dia sehingga mereka tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas apa yang terjadi di kemudian hari. Ketika utusan yang mendatangi Muhammad hendak membawa dia ke hadapan suku tetua Quraish, Muhammad berpikir bahwa mereka ingin mendengar kata-katanya dan segera mengikuti orang suruhan itu. Dia berseru agar mereka bertobat, karena penolakan mereka menyakitkan baginya. Setelah dia duduk bersama mereka, mereka mengulangi tuduhan seperti sebelumya dan memberikan saran yang sama kepadanya seperti sebelumnya telah disampaikan oleh ‘Utba. Muhammad menjawab: “Aku tidak memerlukan seorang tabib, dan aku juga tidak mencari uang, kehormatan atau kekuasaan. Allah mengutusku sebagai seorang utusan dan mewahyukan sebuah kitab kepadaku, memerintahkan aku untuk membawa sebuah kabar baik dan peringatan kepadamu. Aku telah memberitakan pesan dari Tuanku kepadamu dan mengajarimu, dewan yang setia. Terimalah apa yang telah aku bawa kepadamu, sehingga hal tersebut menjadi suatu keberuntungan dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang. Jika engkau menolaknya, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan di antara engkau dan aku.”

Kemudian mereka berkata kepada Muhammad: “Jika engkau tidak mau menerima apapun yang telah kami tawarkan kepadamu, ketahuilah bahwa kami menjalani kehidupan yang keras, karena kekurangan air mempengaruhi kami lebih dari yang lainnya dan lembah kami sangat sempit. Oleh sebab itu berdoalah kepada Tuhanmu, yang mengirim engkau, supaya ia memindahkan gunung-gunung mengelilingi kami, sehingga tanah kami dapat diperluas dan diberkati dengan sungai-sungai, seperti di Suriah dan Mesopotamia (Irak); terlebih lagi, ayah-ayah kami yang telah tiada harus dibangkitkan. Kami kemudian akan bertanya kepadamu bila engkau mengatakan kebenaran atau kebohongan. Jika leluhur kami berkata bahwa engkau berkata jujur dan jika engkau melakukan apa yang kami minta darimu, maka kami akan mempercayaimu dan mengakui pendirianmu yang luar biasa bersama Allah. Kami akan mengakuimu sebagai utusan-Nya.

* Penghuni Mekah pasti pernah mendengar sesuatu tentang perkataan Yesus mengenai iman yang memindahkan gunung-gunung. Namun mereka maupun Muhammad tidak mengerti arti spiritual dari kata-kata tersebut (Matius 17:20; 21:21; Markus 11:23).

Muhammad menjawab: “Aku telah memberitakan kepadamu tanggung jawab yang telah Allah telah berikan kepadaku terkait dirimu. Jika engkau menerimanya, maka hal itu adalah keberuntunganmu pada kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang; jika tidak, aku akan menanti dengan sabar hingga Allah memutuskan di antara kita.” Mereka berkata: “Jadi biarkanlah langit sedikit demi sedikit jatuh ke atas kita, sebagaimana, seperti yang engkau katakan, Allah akan lakukan apabila hal tersebut menyenangkan dirinya. Bila tidak, kami tidak akan mempercayaimu.” Muhammad menjawab: “Itu adalah urusan Allah. Begitu hal tersebut menyenangkan dirinya dia akan melakukannya.” Mereka membalas: “Oh Muhammad, Tuhanmu mengetahui dengan pasti bahwa kami duduk bersamamu di sini dan menuntut sesuatu darimu. Mengapa ia tidak datang dan memberitahumu bagaimana engkau harus menyanggah kami dan apa yang akan ia lakukan jika kami tidak mendengarkanmu? Kami telah mendengar bahwa seorang pria di Yamama adalah gurumu. Namanya adalah Rahman, tetapi, demi Allah, kami tidak akan pernah percaya pada Rahman. Kami telah melakukan apa yang harus kami lakukan dan kami tidak akan menahan kesabaran kami atas usahamu lebih lama lagi, hingga tiba saatnya engkau menghancurkan kami atau kami menghancurkanmu. Kami tidak akan mempercayaimu sampai engkau membawa Allah dan para malaikat turun kepada kami.”*

* Persekongkolan orang-orang Mekah terhadap Muhammad meningkat. Mereka ingin membunuhnya. Dia tidak mampu memberikan jawaban apapun kepada mereka, bahkan hingga ajalnya tiba.
Persekongkolan orang Farisi terhadap Yesus telah meningkat begitu cepat sehingga mereka merencanakan kematian-Nya (Matius 12:14; 26:4; 27:1; Markus 3:6; 15:1; Yohanes 5:16). Tetapi Dia berkata kepada mereka: “Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.” (Matius 12:39-40; 16:4; Lukas 11:29). Yesus telah mengakui kematian-Nya sendiri dan melalui iman di dalam kebangkitan-Nya mengubahnya menjadi kemenangan. Muhammad tidak dapat menandingi kata-kata kemenangan yang pasti ini, karena di dalam Islam tidak ada jaminan keselamatan. Muhammad terbaring mati di dalam kubur dan tidak bangkit. Namun Yesus hidup!

2.04.8 -- Abu Jahl mencoba membunuh Muhammad

Setelah Muhammad pergi, Abu Jahl berkata: “Engkau lihat bahwa Muhammad tidak akan melakukan apapun selain menghina iman kita, menghujat ayah-ayah kita, mengatakan bahwa kita adalah orang bodoh dan menghina ilah-ilah kita. Oleh sebab itu, aku mengambil Tuhan sebagai saksiku, bahwa besok aku akan pergi ke Kabah dengan sebuah batu berat namun masih dapat kubawa dengan satu tangan. Ketika Muhammad bersujud untuk berdoa, aku akan menghantam kepalanya dengan batu itu. Biarlah setelah hal itu terjadi, engkau dapat memilih untuk melindungi aku atau menyerahkan aku kepada anak-anak Abd Manaf, supaya mereka bisa melakukan apapun terhadapku sesuai keinginan mereka.” Kemudian suku Quraish menjawab: “Kami tidak akan pernah menyerahkanmu! Lakukan apa yang engkau inginkan!”

Keesokan harinya Abu Jahl mengambil sebuah batu berat dan pergi menanti Muhammad di dalam tempat suci. Seperti biasa Muhammad datang pagi hari dan berdoa, sebagaimana layaknya adat di Mekah, dengan wajahnya menghadap Suriah, di antara Batu Hitam dan pilar selatan, jadi Kabah terletak di antara dia dan Suriah. Semua suku Quraish berkumpul untuk melihat apa yang Abu Jahl akan lakukan. Muhammad bersujud dan Abu Jahl maju ke depan ke arah Muhammad dengan batu tersebut. Namun ketika dia sudah dekat Abu Jahl tiba-tiba melarikan diri. Wajahnya berubah dan dipenuhi ketakutan. Tangannya yang memegang batu gemetar hingga ia melepaskan batu itu. Suku Quraish mendatanginya dan bertanya: “Ada masalah apa?” Dia menjawab: “Aku ingin melaksanakan apa yang aku beritahukan engkau kemarin. Namun ketika aku mendekati Muhammad, aku melihat seekor unta berada di antara dia dan aku dengan kepala dan gigi-gigi yang besar, yang mana belum pernah aku lihat dari seekor unta sebelumnya. Dia seolah-olah hendak memakan aku!”**

* Muhammad awalnya berdoa ke arah Yerusalem, sebagaimana kebiasaan orang Yahudi di semenanjung Arab. Pada saat itu Yerusalem dimiliki oleh provinsi Suriah, bagian dari kerajaan Byzantium.
** Perlindungan supernatural yang dialami Muhammad bukanlah perlindungan yang penuh belas kasihan melalui malaikat Kudus Tuhan, tetapi lebih menyerupai iblis yang terlibat dalam bentuk seekor binatang dengan wajah yang mengerikan.

2.04.9 -- Al-Nadr ibn al-Harith – musafir yang memusuhi Muhammad

Setelah Abu Jahl melaporkan kejadian tersebut, tampillah al-Nadr ibn al-Harith, yang berkata: “Oh kalian suku Quraish, demi Allah, sesuatu telah melandamu dan tidak dapat engkau kalahkan dengan tipu daya. Ketika Muhammad masih muda, dia dikasihi. Dia dianggap sebagai orang yang paling benar dan beriman di antara kalian, sampai ia tumbuh dewasa dan membawa ke hadapan kalian apa yang telah kalian ketahui betul. Kemudian kalian menyebut dia sebagai seorang peramal. Tetapi, demi Allah, dia bukanlah seorang peramal. Dia tidak meniup dan membuat simpul-simpul, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan para penenung. Kemudian engkau katakan dia adalah seorang ahli nujum, tetapi dia bukanlah seorang ahli nujum. Dia tidak membuat sajak, seperti yang engkau lakukan, dan dia berbicara dengan benar. Karena itu engkau kemudian menyatakan bahwa ia adalah seorang penyair, tetapi dia bukanlah seorang penyair. Kita tahu jenis-jenis syair dan semua itu tidak mirip dengan cara ia berbicara. Engkau mengatakan bahwa ia dirasuki, tetapi, demi Allah, dia tidak bergumam-gumam atau mengerang atau kejang-kejang seperti orang kerasukan. Oleh karena itu, pertimbangkanlah masalahmu, karena engkau telah sampai kepada sebuah situasi yang sulit.” Al Nadr adalah salah satu penentang Muhammad yang berhati paling jahat di antara suku Quraish, salah seorang di antara mereka yang mencela dan membenci dia. Dia telah mengunjungi Hira, di mana ia mendengar sejarang tentang Rustem* dan Isfendiar.* Karena Muhammad sekarang secara terbuka menasihati mengenai iman pada Allah dan memperingatkan kaumnya mengenai penghukuman dari Allah; suatu hal yang telah menyerang orang-orang lain, dia sekarang mulai berbicara dan mengatakan: “Aku tahu lebih banyak cerita indah dibanding Muhammad.” Dia lalu memberitahu mereka cerita tentang raja-raja Persia dan tentang Isfendiar dan Rustem. Ada delapan ayat di dalam Quran yang berisi referensi tentang Nadr, ayat tersebut misalnya: “Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: ‘(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala’”. (Surah al Qalam 68:15).

* Rustem dan Isfendiar adalah raja-raja Persia, yang perbuatan kepahlawanannya diceritakan berulan-ulang di sekitar api unggun perkemahan suku Bedouin.

2.04.10 -- Suku Quraish menanyai para Rabi

Sejak al-Nadr menyatakan bahwa pesan dari Muhammad merupakan hal yang tidak masuk akal, suku Quraish mengutus al-Nadr bersama Uqba ibn Abi Mu‘ait kepada para Rabi di Medina.* Mereka harus melaporkan kepada pada Rabi mengenai tentang khotbah dan keanehan Muhammad, dan seara khusus bertanya kepada mereka tentang apa pendapat mereka tentang Muhammad, karena para Rabi termasuk golongan orang yang memiliki kitab. Selain itu, mereka memiliki pengetahuan tentang tulisan Kitab Suci kuno dan tahu banyak tentang para nabi – sebuah pengetahuan yang mereka tidak miliki. Mereka mengadakan perjalanan ke Medinah dan menjumpai para Rabi. Sesuai dengan perintah yang mereka terima, mereka berbicara kepada para Rabi tentang Muhammad. Mereka menjawab demikian: “Tanyakan tiga pertanyaan kepadanya, yang akan kami berikan kepadamu. Jika ia menjawab ketiganya, dia adalah nabi yang diutus; jika tidak, dia adalah seorang penipu. Perhatikanlah bagaimana engkau menghadapi dia! Pertama-tama, tanyakanlah kepadanya tentang orang-orang yang pada masa lebih awal telah diutus. Banyak hal luar biasa telah dilaporkan tentang mereka. Lebih lanjut, tanyalah kepadanya tentang sang penjelajah yang mencapai ujung timur dan barat bumi. Akhirnya tanyalah kepadanya tentang Roh. Jika ia menjawab, ikutlah dia, karena ia adalah seorang nabi. Jika ia tidak dapat menjawab, ia adalah seorang penipu.”

* Di Medinah, yang saat itu dikenal sebagai Yathrib, terdapat beberapa bagian kota yang dihuni oleh orang-orang Yahudi kaya. Di antara mereka juga tinggal Rabi-rabi yang dihormati, yang terkenal di seluruh daerah tersebut sebagai ahli Taurat dan Talmud.

Al-Nadr dan ‘Uqba kembali ke Mekah dan memberitahu suku Quraish: “Kami sekarang telah menerima suatu kemungkinan untuk membereskan seluruh masalah,” dan kemudian memberitahu mereka kata-kata dan pertanyaan-pertanyaan dari para rabi. Mereka kemudian mendatangi Muhammad dan mengajukan ketiga pertanyaan kepadanya. Muhammad membalas dengan mantab: “Besok aku akan memberimu jawaban.” Muhammad menanti, dan selama lima belas malam tidak ada wahyu lain yang diberikan kepadanya. Akhirnya orang-orang Mekah berkumpul bersama dan berkata: “Muhammad berjanji memberikan kami jawaban pada keesokan hari, dan sekarang lima belas malam telah berlalu.” Muhammad sendiri sangat terganggu, karena wahyu tidak kunjung tiba dan karena orang-orang Mekah mencemooh dia. Akhirnya Allah mengirim Jibril kepada Muhammad. Dia berkata kepada Jibril: “Engkau pergi terlalu lama. Aku takut sesuatu yang mengerikan akan terjadi.” Jibril menjawab: “Kami hanya dapat turun kepadamu atas perintah Allah, Tuhanmu. Dia yang memegang perintah apa yang ada di tangan kami, apa yang ada di belakang kami dan apa yang ada di antara kami.” Jibril kemudian mengatakan Surah al-Kahf memuji Allah dan kenabian Muhammad, yang ingin suku Quraish tolak: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran)!” (Surah al-Kahf 18:1). Ini menjadi sebuah konfirmasi atas pertanyaan mereka mengenai kenabiannya. Kemudian, adalah benar bahwa “ia memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah,” (Surah al-Kahf 18:2a) dengan penghukuman yang segera terjadi dalam kehidupan ini dan penderitaan yang hebat dalam kehidupan mendatang. Juga benar bahwa dia “memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (Surah al-Kahf 18:2b-3) – yaitu, sebuah tempat di kekekalan di mana mereka tetap hidup abadi, kepada mereka yang percaya kepada wahyunya, yang dianggap kebohongan oleh yang lainnya, dan kepada mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan kepada mereka. “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: "Allah mengambil seorang anak".” (Surah al-Kahf 18:4). Dengan hal ini ia bermaksud mengatakan suku Quraish, yang menyembah para malaikat sebagai putri-putri Allah. "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu (Allah), begitu pula nenek moyang mereka.” (Surah al-Kahf 18:5), yang darinya mereka tidak memisahkan diri dan yang agamanya mereka tidak ingin mendapat fitnah. Jibril melanjutkan: “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (Surah al-Kahf 18:6)

“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.*”” (Sura al-Kahf 18:9-17)

* Islam mengajarkan takdir mengenai keselamatan dan neraka (Surah al-Ra’d 13:27, Ibrahim 14:4; al-Nahl 16:93; Fatir 35:8; al-Muddathir 74:31). Seorang Muslim memiliki keterbatasan untuk membuat keputusannya sendiri. Akar penyebab fatalisme yang tersebar luas dan kurangnya tanggung jawab yang terdapat di dalam Islam dapat ditemukan di sini.
Namun Yesus, telah memanggil kita kepada kebebasan sebagai anak-anak Tuhan, yang dengan kehendak mereka sendiri dapat menolak atau menerima keselamatan yang dipersiapkan untuk mereka. Kristus mati menggantikan posisi semua manusia dan mengharapkan iman pada diri-Nya sebagai suatu tindakan pengucapan syukur karena Dia yang telah menjadi pengganti manusia. Kebebasan orang Kristen untuk mengambil keputusan memuliakan derajat manusia dengan adanya tanggung jawab dan kegiatan.
Takdir Kristen menemukan solusinya di dalam kata-kata Rasul Paulus – bahwa kita telah dipilih “dalam Kristus” (Efesus 1:4). Sebab Kristus adalah penggenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya (Roma 10:4).

“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.” (Surah al-Kahf 18:18) …” “Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).”” (Sura al-Kahf 18: 22-25).

Dalam hubungan dengan pertanyaan mereka tentang sang pengembara, disebutkan: “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan. (Surah al-Kahf 18:83-85) Dilaporkan mengenai si Dua Tanduk (Dhul-Qarnain) bahwa Allah memberinya kekuatan lebih dari orang lain. Semua jalan dipermudah, sehingga ia mampu menundukkan seluruh dunia, dari Timur ke Barat, sampai ia mencapai tempat di mana tidak terdapat manusia.

Seorang pria Persia yang bertutur kata baik melaporkan kepadaku: “Si Dua Tanduk adalah seorang Mesir dengan nama Marzuban ibn Marzuba, seorang keturunan Junan, putra dari Yafith ibn Nuh. Namanya adalah Iskander. Dia adalah pendiri Alexandria.”

Thaur ibn Yazid memberitahuku tentang Khalid ibn Madan al-Kalai, seorang sahabat Muhammad: “Muhammad suatu kali ditanyakan tentang si Dua Tanduk, dan dia menjawab: ‘Dia adalah seorang malaikat, yang mengukur bumi dengan tali dari bawah.’” Khalid lebih lanjut melaporkan bahwa suatu kali Umar telah mendengar seseorang memanggil si Dua Tanduk. Terhadap hal tersebut Muhammad menjawab: “Allah! Ampuni! Apakah tidak cukup engkau memanggil para nabi? Sekarang engkau hendak memanggil malaikat?”

Tentang pertanyaan mengenai roh dikatakan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh*. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (Surah al-Isra’ 17:85).

* Roh Tuhan, yaitu Roh Kudus, tidak dikenal secara luas oleh orang Yahudi di Medinah dan Muslim di Mekah. Gereja Kristus adalah, kuil Roh Kudus dan hidup di dalam kuasa-Nya (Yohanes 3:34-36, Kisah Para Rasul 1:8; 2:1-4; Roma 5:5; 8:1-16; 1 Korintus 3:16; 6:19, dll). Orang-orang Kristen hidup di dalam kuasa dan di bawah pimpinan Roh Kudus. Seorang Muslim tidak memiliki Roh Kudus dan tidak ada kehidupan kekal yang hidup di dalam dirinya. Jangan menyamakan kesalehan dengan kelahiran baru secara spiritual (bandingkan Yohanes 3:1-8).

Ketika Muhammad kemudian pergi ke Mekah, para Rabi bertanya kepadanya: “Apakah bangsa kami atau bangsamu yang engkau maksud ketika engkau berkata: ‘Kepadamu sedikit pengetahuan yang telah diberikan?’” Muhammad menjawab: “Kepada yang satu juga kepada yang lainnya.” Kemudian mereka berkata: “Tidak pernahkah engkau membaca di dalam wahyumu bahwa kepada kami telah diberikan Taurat, yang di dalamnya telah dijelaskan segala hal?” Muhammad menjawab: Itu pun, mengenai pengetahuan akan Allah, hanya menjelaskan sedikit hal saja. Namun bagimu, cukuplah bila engkau mengatur dirimu sendiri dengannya. Mengenai penolakan para Rabi, disebutkan di dalam Quran: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surah Luqman 31:27).

Mengenai tuntutan lain yang mereka buat, bahwa ia seharusnya memohon kepada Allah meminta taman, istana dan harta; dan bahwa Allah seharusnya mengirimkan seorang malaikat untuk bersaksi bagi dia dan membela dia, kita membaca: “Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?" Dan orang-orang yang zalim itu berkata: "Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir". Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu). Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana.” (Surah al-Furqan 25:7-10).

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.” (Sura al-Furqan 25:20).

Ayat-ayat berikut ini berhubungan dengan kata-kata Abd Allah ibn Abi Umaiyyaa: “Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca". Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”” (Surah al-Isra’ 17:90-93)

Tentang gugatan mereka bahwa seorang pria dari Yamama bernama Rahman adalah guru Muhammad, kita membaca di dalam Quran: "Demikianlah, Kami telah mengutus kamu pada suatu umat yang sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumnya, supaya kamu membacakan kepada mereka (Al Quran) yang Kami wahyukan kepadamu, padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: "Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat". (Surah al-Ra’d 13:30).

* Rahman adalah sebuah kata Yamani dan mengandung makna perwujudan belas kasihan. Konsep ini ternyata tidak dikenal di Mekah, sehingga dibutuhkan sebuah kata sifat yang dapat memberi arti,yaitu “rahim” (pengasih), yang dapat dianggap memiliki arti yang sama. Kecuali pada satu surah, setiap surah dimulai dengan formulasi: “Di dalam nama Allah, yang Pengasih (al-Rahman), yang penyayang (al-Rahim)!

Dalam hal tentang uang yang ditawarkan kepada Muhammad, kita membaca: “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (Surah Saba’ 34:37)

Bahkan setelah Muhammad menjawab pertanyaan mereka dan menyingkapkan pengetahuannya mengenai hal-hal yang tersembunyi; dan dengan demikian ia membuktikan bahwa ia mengatakan kebenaran dan sungguh merupakan seorang nabi, iri hati menahan mereka untuk mempercayai dan mengikuti dia. Mereka tetap dengan keras kepala menentang Allah, berpaling darinya dengan mata yang telah dibukakan dan bersikeras dalam ketidakpercayaan mereka. Salah satu dari mereka berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka" Surah Fussilat 41:26).

Suatu hari sesudahnya, dengan mencemooh Abu Jahl berkata demikian mengenai Muhammad dan wahyunya: “Oh, kalian suku Quraish! Muhammad memiliki sejumlah hamba-hamba Allah, yang akan memegangmu dengan kuat dan menyiksamu di neraka, yaitu sembilan belas orang. Namun kalian adalah suku terbesar. Tidakkah seratus orang dari kalian mampu mengalahkan satu dari budak-budak ini?”

Allah kemudian mewahyukan: “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir” (Surah al-Muddathir 74:31).

* Malaikat adalah hamba Tuhan, yang dikirim untuk melindungi orang-orang kudus. Mereka tidak menggoda manusia hingga berdosa. Namun Muhammad tidak memiliki kemampuan untuk membedakan malaikat yang jatuh ke dalam dosa, atau setan, dari malaikat Tuhan yang sejati. Besar kemungkinan dia tidak pernah bertemu dengan seorang malaikat mulia utusan Tuhan, tetapi hanya bertemu dengan setan, yang berperilaku seolah-olah malaikat sejati – namun sebenarnya adalah roh najis.

Setelah pertemuan yang tidak bersahabat ini, suku Quraish menolak Muhammad, tidak lagi mendengarkan dia ketika dia membaca Quran dengan keras. Jika di tengah-tengah suasana seperti itu seseorang ingin mendengarkan Muhammad ketika dia berdoa, orang itu melakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena takut kepada yang lainnya. Jika kemudian orang itu mengetahui bahwa mereka telah memperhatikan hal ini, dia akan menarik diri dari mereka, karena ia takut diperlakukan dengan tidak baik oleh mereka.

Abd Allah ibn ‘Abbas berkata: “Ayat: ‘Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu’ (Surah al-Isra’ 17:110), diungkapkan dalam pandangan terhadap orang-orang ini.” Dia tidak boleh berdoa terlalu keras, sehingga orang-orang akan memalingkan muka darinya, tetapi juga tidak terlalu diam, sehingga mereka yang ingin mendengarkan dia tanpa diperhatikan dapat tetap mengerti, menerima dan menerapkan apa yang baik bagi mereka.

2.04.11 -- Pertentangan atas pembacaan Surah di Mekah

Orang pertama di Mekah setelah Muhammad yang mulai membaca Quran dengan keras adalah Abd Allah ibn Mas’ud.* Sahabat-sahabat Muhammad suatu hari berkumpul bersama dan berkata: “Demi Allah, suku Quraish masih belum pernah mendengar Quran dibacakan dengan keras kepada mereka. Siapa yang akan melakukannya?” – “Aku”, jawab Abd Allah ibn Mas’ud. Mereka kemudian berkata: “Kami takut kepada suku Quraish. Kami membutuhkan seorang pria yang berasal dari suku yang akan melindunginya jika suku Quraish menentangnya.” Abd Allah menjawab: “Ijinkan aku. Allah akan melindungiku!” Keesokan pagi dia pergi ke dalam tempat suci pada waktu yang sama dengan waktu suku Quraish berkumpul, dan berkata dengan suara yang keras: “Dalam nama Allah, yang Pengasih, yang Penyayang: al-Rahman telah mengajarkan Quran!” (Surah al-Rahman 55:2). Suku Quriash berdiri tegak dan memperhatikan, kemudia berkata: “Putra dari seorang budak wanita membaca dengan keras wahyu dari Muhammad.” Mereka berdiri dan memukuli wajahnya. Namun Abd Allah tidak mengijinkan dirinya menjadi ragu, dan terus membaca selama beberapa lama sebelum kembali kepada para sahabatnya. Mereka menemukan sisa-sisa pukulan pada wajahnya dan berteriak: “Itulah yang kami takutkan!” Tetapi dia menjawab: “Musuh Allah tidak pernah tampil lebih tercela di hadapanku daripada sekarang. Jika engkau mau, aku akan kembali membaca Surah-surah kepada mereka besok.” Namun mereka menjawab: “Sudah cukup; engkau telah memaksa mereka mendengar apa yang mereka benci.”

* Abd Allah ibn Mas‘ud adalah salah seorang penulis paling terampil yang menemani Muhammad, yang menuliskan apa yang disebut wahyu.

2.04.12 -- Reaksi Suku Quraish terhadap pembacaan yang dilakukan oleh Muhammad

Segera setelah Muhammad membaca Quran dan mendesak suku Quraish untuk percaya kepada Allah, mereka dengan penghinaan berkata: “Hati kami diselubungi dengan sebuah penutup dan tetap tidak bereaksi terhadap peringatanmu. Telinga kami tuli terhadap kepintaranmu. Kami tidak mendengar apa yang engkau katakana. Antara engkau dan kami tergantung sebuah tirai yang memisahkan kita. Engkau berlaku sesuai dengan keyakinanmu dan kami akan berlaku sesuai dengan keyakinan kami. Kami tidak ingin belajar apapun darimu.” Untuk menjawab kata-kata tersebut, Allah mewahyukan kepada Muhammad: “Apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. … Apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya” (Surah al-Isra’ 17:45-46). Bagaimana mereka dapat mengerti mengenai apa yang engkau katakan tentang kesatuan Allah ketika Aku menaruh selubung di sekitar hati mereka, membuat telinga mereka tuli, dan menaruh sebuah tirai antara engkau dan mereka? “Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata: "Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir". Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar). Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" Katakanlah: "Jadilah kamu sekalian batu atau besi, atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama" (Surah al-Isra’ 17:47-51).

2.04.13 -- Pertantangan melawan sahabat Muhammad

Suku Quraish bertempur melawan sahabat-sahabat Muhammad yang percaya. Setiap suku bangkit melawan Muslim yang lemah yang tinggal di antara mereka. Muslim-muslim tersebut dikurung, dipukuli, dibiarkan kelaparan dan kehausan dan diikat serta dijemur di bawah matahari. Beberapa orang meninggalkan imannya untuk menghindari perlakukan buruk itu. Yang lainnya dikuatkan oleh Allah sehingga mereka dapat melawan orang yang menganiaya mereka. Bilal ibn Rabah, yang ibunya bernama Hamam, seorang wanita yang di kemudian hari dibebaskan oleh Abu Bakr, adalah budak dari salah seorang putra-putra Jumah pada saat itu. Dia adalah salah seorang yang sungguh-sungguh beriman. Umaiyya ibn Khalaf membawanya di bawah terik siang hari ke lembah di samping Mekah, menjatuhkannya hingga terlentang, meletakkan sebuah batu berat di atas dadanya dan berteriak: “Aku akan membiarkan engkau mati jika engkau tidak berbalik dari Muhammad dan menyembah Lat dan Uzza.” Tetapi Bilal tetap berteriak: “Satu, satu!” Hisham ibn ‘Urwa memberitahukan hal berikut tentang ayahnya: “Ketika ia sedang disiksa datanglah Waraqa ibn Nawfal; pada saat ia sedang berteriak ‘satu, satu!’, Waraqa berkata: Ya, demi Allah, Bilal, satu, satu!’ Kemudian ia berbalik kepada Umaiyya dan para penolongnya dari Bani Jumah dan berkata: ‘Demi Allah, jika engkau membunuhnya, aku akan berdoa di makamnya.’” Suatu hari, ketika mereka kembali menyiksa dia, datanglah Abu Bakr, yang rumahnya berada di dalam bagian Bani Jumah dan berkata kepada Umaiyya: “Tidakkah engkau takut akan penghukuman Allah karena memperlakukan orang yang malang ini dengan buruk? Berapa lama lagi hal ini akan berlanjut?” Dia menjawab: “Engkaulah yang telah merusak dia, kau bebaskanlah dia dari kesengsaraanya!” – “Hal itu akan aku lakukan”, jawab Abu Bakr. Aku akan memberikan engkau seorang budak berkulit hitam sebagai ganti dirinya, yang lebih kuat darinya dan yang lebih kuat imatnya.” Umaiyya menyetujui hal ini. Abu Bakr membebaskan Bilal dan enam orang budak lainnya.* Mereka adalah: Amir ibn Fuhaira, yang mengambil bagian dalam perang Badr dan Uhud dan mati sebagai seorang syuhada dalam pertempuran di sumur Ma’una; kemudian Umm Ubais dan Zinnira. Zinnara kehilangan penglihatannya ketika Abu Bakr memberikannya kebebasannya. Mengikuti hal tersebut suku Quraish berkata: “Lat dan Uzza yang membuat dia buta:” Namun dia berteriak, “Engkau berbohong; demi rumah Allah, Lat dan Uzza tidak dapat membahayakan maupun menolong!” Dan kemudian Allah mengembalikan penglihatannya. Lebih lanjut, Abu Bakr melepaskan Nahdiyya dan putrinya. Sebelumnya mereka adalah dimiliki oleh wanita Bani Abd al-Dar. Abu Bakr berpapasan dengan mereka ketika majikan mereka mengebaskan dengan tepung kepada mereka dan bersumpah dia tidak akan membebaskan mereka. Tentang hal tersebut Abu Bakr berkata: “Apakah hal tersebut diperbolehkan?” Dia menjawab: “Hal tersebut diperbolehkan; engkau telah menyesatkan mereka, sekarang bebaskanlan mereka juga.” Dia lalu bertanya tentang harga mereka dan membebaskan mereka. Abu Bakr berkata kepada mereka bahwa mereka boleh mengambil tepung dari wanita tersebut kembali. Mereka lalu bertanya: “Tidakkah kita seharusnya lebih dahulu menyelesaikan pekerjaan dan setelah itu membawanya kembali?” Dia menjawab: “Hal itu dapat engkau lakukan jika engkau menghendakinya.” Dia lalu berpapasan dengan seorang budak milik Bani Mu’ammal, yang merupakan bagian dari Bani ‘Adi ibn Ka’b. ‘Adi ibn Ka’b yang adalah salah seorang beriman, sebagaimana ‘Umar juga merupakan orang beriman, yang pada saat itu belum menjadi seorang percaya dan yang menghajar budaknya agar budak tersebut meninggalkan Islam, sampai akhirnya ‘Adi ibn Ka’b kelelahan. Dia mengatakan kepada perempuan itu bahwa karena ia berhenti memukulinya karena merasa lelah. Perempuan tersebut menjawab: “Allahlah yang melakukan hal tersebut kepadamu.” Abu Bakr membeli perempuan itu dan juga menghadiahkan kebebasan kepadanya. Muhammd ibn Abd Allah ibn Abi ‘Atiq memberitahuku tentang Amir ibn Abd Allah ibn Zubari, yang mendengarnya dari salah seorang kerabatnya: Abu Quhafa suatu kali berkata kepada Abu Bakr: “Anakku, aku memperhatikan bahwa engkau selalu membeli budak-budak lemah dan membebaskan mereka. Lebih baik membeli pria-pria kuat demi kebebasan mereka, mereka yang dapat melindungi dan mendukung engkau.” Abu Bakr menjawab: “Dalam segala hal yang aku lakukan aku mencari kenikmatan Allah.”

* Terdapat sejumlah besar budak yang menganut Islam di Mekah. Dalam kehidupannya, budak-budak tersebut tidak memiliki harapan lagi. Di dalam janji-jani Muhammad tentang kebahagian material firdaus, mereka telah menemukan sebuah harapan dan, oleh sebab itu, menerima Islam. Banyak dari para budak yang percaya kemudian hari dibeli untuk dibebaskan. Dengan demikian jumlah Muslim bertumbuh dengan cepat.

Bani Makhzum membawa ‘Ammar ibn Yasir beserta dengan orangtuanya yang telah memeluk Islam, ke luar menuju tempat yang terbakar di Mekah pada tengah hari yang terik. Muhammad kemudian berlalu. Dia dilaporkan telah berkata: “Bersabarlah, oh suku Yasir! Kepada kalian firdaus telah dijanjikan.” Ibunda ‘Ammar terbunuh karena ia tidak meninggalkan Islam.*

* Jumlah syuhada Islam bertambah di Mekah.

Si iblis Abu Jahllah yang menghasut suku Quraish agar menentang para orang percaya. Setiap kali ia mendengar bahwa seorang pria yang kuat dan dihormati telah memeluk Islam, ia menegur pria itu dan mempermalukannya dengan mengatakan: “Engkau telah meninggalkan kepercayaan ayahmu, yang merupakan seorang pria yang lebih baik daripadamu. Kami menyatakan bahwa engkau adalah orang gila dan bodoh, serta akan menurunkan derajatmu.” Apabila secara kebetulan orang yang telah memeluk Islam adalah seorang pedagang, dia lalu akan berkata kepadanya: “Demi Allah, kami tidak akan membeli barang daganganmu dan menghancurkanmu keuanganmu.” Jika hal tersebut terjadi pada seseorang yang miskin atau lemah, dia akan memukulinya dan menghasut yang lainnya untuk menentangnya. Hakim ibn Jubair melaporkan: “Orang-orang penyembah berhala memukuli para sahabat Muhammad dan membiarkan mereka kelaparan dan kehausan, hingga mereka tidak sanggup lagi untuk duduk karena sangat lemah dan akhirnya menyerah pada godaan dan mengakui Lat dan Uzza sebagai dewa-dewa. Mereka bahkan harus menyembah seekor kumbang yang lewat sebagai dewa, agar mereka dapat melarikan diri dari hukuman yang berat.”

2.05 -- Migrasi Pertama ke Etiopia (sekitar 615 M)

2.05.1 -- Pelarian pertama sejumlah umat Muslim

Ketika Muhammad melihat situasi berbahaya yang dialami oleh para pengikutnya, sementara ia sendiri tidak tersentuh berkat perlindungan Allah dan pamannya, ia berkata kepada mereka: “Bagaimanakah bila engkau pindah ke Etiopia?* Di negara itu ada seorang raja yang memerintah yang tidak memberi angin bagi ketidakadilan. Negeri itu adalah sebuah negeri di mana keadilan berkuasa, di mana engkau bisa tinggal sampai Allah membebaskan engkau dari kondisi saat ini.”

* Muhammad sendiri yang hidup di bawah perlindungan Abu Talib, menasehatkan umat Muslim yang secara sosial tidak beruntung untuk pindah ke Etiopia yang sebagian besar penduduknya merupakan umat Kristen. Umat Kristen di sana menyediakan perlindungan/pengungsian bagi umat Muslim dan menyelamatkan Islam dari kepunahan. Muhammad dan umat Muslim menegtahui bahwa orang-orang Kristen adalah orang yang jujur dan tidak memberi kesempatan bagi ketidakadilan.

Karena takut tergoda murtad dan demi menyelamatkan kepercayaan mereka, para sahabat Muhammad mulai bermigrasi ke Etiopia. Perpindahan tersebut merupakan migrasi pertama yang dilakukan oleh orang beriman.

Seluruh jumlah migran, tidak termasuk anak kecil yang dibawa bersama mereka atau yang lahir di Abisina, berjumlah 83 orang, jika Ammar ibn Yasir juga dihitung, meskipun diragukan apakah ia menemani kelompok tersebut atau tidak.

Ketika para Muslim telah menemukan keamanan di Etiopia dan bebas untuk menyembah Allah tanpa rasa takut, karena Negus telah memberikan kepada mereka perlindungan, Abd Allah ibn al-Harith ibn Qays menyusun syair berikut ini:

Terimalah nasihatku, pengendara pengelana, kepada mereka yang memiliki harapan di dalam Allah dan di dalam iman keagamaan, kepada setiap hamba Tuan yang diperlakukan dengan semena-mena dan menderita kekejaman di Mekah: Kami telah menemukan tanah Allah begitu luas yang menawarkan perlindungan dari penghinaan, rasa malu dan aib. Janganlah terus menanggung hidup yang penuh penghinaan, dalam rasa malu setelah kematian dan di dalam rasa bersalah, seperti mereka yang tanpa kepastian. Kita telah mengikuti utusan Allah; namun mereka, telah memandang rendah kata-kata dari sang nabi dan telah melakukan dosa besar. Hukumlah, oh Allah, para pembuat kejahatan, janganlah biarkan mereka bangkit dan membahayakan aku.

2.05.2 -- Permohonan penyerahan tahanan oleh Suku Quraish

Ketika suku Quraish mendapat berita bahwa para sahabat Muhammad telah menemukan tempat tinggal dan keamanan di Etiopia, juga tempat yang aman untuk ditinggali, mereka memutuskan untuk mengirim dua orang yang cakap di antara suku mereka kepada Negus. Mereka harus ditugaskan untuk mempengaruhinya agar mengusir orang-orang Muslim keluar dari negara Etiopia. Para utusan tersebut adalah Abd Allah ibn Abi Rabi’a dan Amr ibn Al-‘As ibn Wa’il. Mereka dibekali hadiah-hadiah yang berlimpah yang diperuntukkan bagi Negus dan para bangsawan.

Para migran (yang mencari suaka politik) menjelaskan: “Ketika kami datang ke Etiopia, Negus memberikan kepada kami perlindungan terbaik. Kami diijinkan untuk menjalankan iman kami dan menyembah Allah dengan aman. Tidak ada orang yang membahayakan kami, juga kami tidak mendapati masalah apapun. Ketika suku Quraish mengetahui hal ini, mereka berketetapan untuk mengirimkan dua orang cakap kepada Negus, membawa serta barang-barang terbaik dari Mekah bersama mereka untuk diberikan sebagai hadiah. Di antara hadiah-hadiah tersebut yang paling berharga adalah kulit, yang dengan murah hati hendak dihadiahkan kepada penguasa dan pejabat kepala. Abd Allah ibn Abi Rabi’a dan Amr ibn al-‘As diperintahkan untuk pertama memberikan hadiah-hadiah kepada para bangsawan terlebih dahulu. Kemudian hanya setelah hadiah diberikan, mereka memulai diskusi dengan Negus dan memberikan menyediahkan hadiah yang khusus disediakan baginya. Mereka kemudian harus membuat sebuah permintaan padanya untuk menyerahkan para Muslim tanpa melalui penyelidikan terlebih dahulu.

Utusan tersebut tiba di Abysina, di mana mereka menemukan akomodasi terbaik dari tuan rumah yang sangat membantu. Mereka dengan segera memberikan hadiah-hadiah kepada para bangsawan, bahkan sebelum mereka mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Negus, dan berkata kepada mereka: "Anak-anak muda yang bodoh telah melarikan diri ke tanah milik raja kalian, yang telah meninggalkan iman keagamaan dari ayah-ayah mereka, yang juga tidak menerima agama kalian; mereka telah membawa sebuah iman baru yang asing bagi kita. Itulah sebabnya orang-orang paling mulia dari kaum kami mengirim kami kepada sang raja, yaitu untuk membawa mereka kembali. Oleh sebab itu, pada saat kami berdiskusi dengan sang raja mengenai masalah ini, nasehatilah raja untuk menyerahkan mereka kepada kami tanpa memberitahu mereka; karena rakyat kalian mengenal mereka dengan baik dan mengenali apa yang tidak baik dalam diri mereka.”

Ketika para bangsawan menerima maksud tujuan mereka, para utusan memberikan hadiah-hadiah mereka kepada Negus. Setelah raja telah menerima hadiah-hadiah tersebut, mereka mengulangi apa yang telah mereka katakan kepada para bangsawan, meminta atas nama orang-orang paling mulia dari suku mereka – yang di dalamnya juga termasuk para ayah dan ibu dari pada migran – untuk menyerahkan mereka. Para bangsawan, yang mengelilingi sang raja, menyetujui mereka dan berkata: “Tentu saja suku bangsa mereka mengenal mereka lebih baik dan telah mengetahui betapa mereka telah tersesat. Oleh sebab itu serahkanlah mereka. Ijinkan mereka kembali bersama utusan-utusan itu kepada kaum mereka sendiri.” Tidak ada yang ditakuti oleh utusan tersebut selain apabila Negus memutuskan akan memberitahu orang-orang Muslim.

Sang Negus menjadi marah dan berteriak: “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan orang-orang yang telah datang ke negaraku dan yang telah memilih perlindunganku dibandingkan yang lainnya sampai aku telah menyelidiki mengenai apa yang disampaikan oleh para utusan tersebut. Jika diputuskan bahwa mereka berbicara dengan jujur, maka aku akan menyerahkan mereka dan mengirimkan mereka kembali kepada kaumnya sendiri; jika tidak, aku akan melindungi mereka dan memberikan mereka hak untuk hidup di sini selama yang mereka kehendaki.”

2.05.3 -- Negus menyelidiki para migran*

Seorang utusan sekarang dikirim untuk mengumpulkan para sahabat Muhammad. Setelah utusan tersebut sampai kepada mereka, mereka berkumpul dan saling bertanya satu sama lain: “Apa yang akan engkau katakan kepada sang raja, ketika engkau muncul di hadapannya?” Mereka menjawab: “Kami akan berkata apa yang kami tahu dan apa yang sang nabi perintahkan kita – apapun akan kami hadapi.”

* Pemeriksaan terhadap migran-migran Muslim ini merupakan perselisihan pertama antara Kristem - Muslim yang terjadi secara terbuka.

Ketika mereka menghadap Negus, yang juga telah mengumpulkan para uskup dan kitab-kitab di sekitar mereka, dia bertanya kepada mereka: “Agama seperti apakah ini yang menyebabkan engkau untuk mengabaikan suku bangsamu sendiri dan apa yang menahan engkau dari memeluk agamaku atau agama lainnya?” Ja’far, putra Abu Talib, menjawab: “Oh raja, kami dalam kebodohan, menyembah ilah-ilah lain dan memakan binatang mati. Kami melakukan percabulan, berselisih dalam rumah tangga, dan memperlakukan tamu-tamu dengan buruk. Yang kuat melahap yang lemah, sampai Allah mengirimkan seorang utusan, seseorang yang berasal dari kaum kami, yang keturunannya, kecintaannya pada kebenaran, kesetiaan dan kebajikannya kami ketahui. Dia mengajak kami untuk menyembah Allah saja dan menolak baru-batu dan berhala-berhala lain, yang sebelumnya telah kami dan ayah-ayah kami sembah selain dari Allah. Lebih lagi, dia memerintahkan kami untuk tulus di dalam perkataan kami, memelihara kesetiaan, untuk mengasihi kerabat dan melindungi para tamu, menahan diri dari apa yang terlarang, tidak memakan darah, tidak melakukan hal-hal yang memalukan, tidak berbohong, tidak melahap milik anak yatim dan tidak memfitnah wanita yang saleh. Dia memerintahkan kami untuk menyembah Allah tanpa sekutu, memberi zakat dan berpuasa.”

Setelah Ja’far menjelaskan lebih lanjut mengenai hukum dalam Islam, dia meneruskan: “Kami menyimpulkan bahwa Muhammad adalah orang yang jujur, mempercayainya dan mengikuti wahyu ilahi yang yang ia bawa kepada kami. Kami hanya menyembah Allah, tanpa sekutu, meninggalkan apa yang ia larang dan menganggap apa yang ia perbolehkan sebagai hal yang boleh kami lakukan. Karena hal itulah bangsa kami memusuhi kami dan memperlakukan kami dengan buruk. Mereka membujuk kami untuk menarik kembali iman kami dan membawa kami kembali menyembah berhala-berhala. Kami harus menjalankan kembali hal-hal menjijikkan yang terdahulu. Ketika mereka mulai menggunakan kekerasan, memojokkan kami dan mencoba memisahkan kami dari iman kami, kami pindah ke negara anda, memilih perlindungan anda di atas yang lain-lainya dan berharap, oh raja, agar tidak akan menderita ketidakadilan pada saat kami bersama anda.”

Sang Negus lalu bertanya kepadanya apakah ia mengetahui wahyu ilahi tersebut.

Ketika ia mengiyakan, Negus memintanya untuk membacakan wahyu tersebut kepadanya. Ja’far membacakan kepadanya dari permulaan Surah ke-19 yang bertajuk Maryam. Mendengar hal itu sang Negus mulai menangis dengan kuatnya sampai jenggotnya basah. Bahkan para bangsawan membasahi buku-buku mereka dengan air mata mereka, ketika mereka mendengar apa yang dibacakan di hadapan mereka. Sang Negus lalu berkata: “Hal-hal tersebut telah diwahyukan Musa dan berasal dari sumber yang sama. Pulanglah! Jauhlah aku dari menyerahkan kalian kepada mereka.”

2.05.4 -- Yang diberitahukan oleh para migran kepada Negus mengenai ‘Isa

Ketika para migran telah pergi dari hadapan Negus, Amr ibn al-‘As berkata:” Demi Allah, aku akan memberitahukan hal-hal tentang mereka besok sehingga akan mengangkat tumbuhan hijau mereka dari akarnya.” Abd Allah ibn Abi Rabi’a, utusan yang lain, berkata: “Jangan lakukan hal itu; karena meskipun mereka berlawanan dengan kita, mereka masih merupakan kerabat kita.” Namun, Amr menjawab, “Demi Allah, aku akan memberitahukan raja bahwa mereka menganggap Isa (Yesus), putra Maryam, sebagai seorang budak.”

Keesokan hari Amr pergi lagi kepada Negus dan berkata: “Oh raja! Mereka mengadakan diskusi jahat melawan Kristus. Kirimlah utusan memanggil mereka dan bertanyalah kepada mereka apa yang mereka katakan tentang Kristus.” Sang Negus memanggil mereka untuk menanyai mereka tentang Kristus.

“Hal ini adalah,” kenang Umm Salama di kemudian hari, “hal yang paling berbahaya yang kami pernah jumpai. Para migran berkumpul dan berkata satu sama lain: ‘Apa yang kita ingin katakan tentang ‘Isa ketika mereka menanyakan tentang dia?’ Mereka berketetapan untuk mengatakan apa yang Allah telah ungkapkan dan apa yang Muhammad telah katakan tentang dia, apapun yang terjadi. Ketika mereka di hadapan Negus dan dia bertanya kepada mereka apa pendapat mereka tentang ‘Isa,* Ja’far berkata: “Kami mengaku mengenai dia seperti yang telah nabi kami ungkapkan: ‘Dia adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam” (Surah al-Nisa’ 4:171).

* Dalam situasi berbahaya ini para imigran Islam menekankan tentang elemen positif dari iman Kristen di dalam Quran, namun diam tentang penolakan Quran tentang keilahian Anak dari Yesus dan penyaliban-Nya. Dan mereka tampil di hadapan Negus sebagai sekte Kristen, tetapi bukan sebagai gerakan anti-Kristen (Surah Maryam 19:17-35; Al ‘Imran 3:34-59).

Sang Negus mengambil sepotong kayu dari tanah dan berkata: “Menurut yang engkau katakan, Yesus, putra Maryam, tidak melebihi panjang dari tongkat ini.” Para bangsawan, yang berdiri di sekeliling dia, menggumamkan sesuatu. Tetapi dia melanjutkan: “Silahkan dan katakanlah!” – “Demi Allah,” Negus lalu berkata kepada para imigran, “kalian sekarang boleh pergi– kalian aman di negaraku. Siapapun yang menghinamu harus dihukum! Siapapun yang menghinamu akan dihukum!”, dia mengulang. “Aku tidak ingin membahayakanmu demi segunung emas. Kembalikanlah hadiah-hadiah kepada para utusan itu! Aku tidak menyuao Allah ketika ia mengembalikan kerajaanku; Mengapa aku harus mengijinkan diriku disuap melawan dia? Dia bahkan tidak mendengarkan para utusan. Mengapa aku harus mengikuti keinginan mereka jika itu melawan Allah?”

Para utusan pergi dengan rasa malu tanpa memperoleh apapun.

Kami tetap bersama Negus di bawah damai dan rasa aman yang terbaik. Ketika kami tinggal di negaranya, seorang Etiopia merencanakan pemberontakan melawan Negus. Ini menyebabkan kami bersikap waspada. Kami takut sang Negus akan ditaklukkan dan musuhnya tidak akan mengakui hak kami sebagaimana dia telah lakukan. Ketika sang Negus menghadapi para pemberontak dengan hanya sungai Nil yang memisahkan dia dan tentara musuh, para sahabat nabi mengatakan: “Siapa yang akan mengamati pertempuran dan membawakan berita kepada kami tentang hasilnya?” l-Zubair ibn al-Awwam, salah seorang yang paling muda, menyatakan kesediaannya. Mereka semua setuju dan mengisi sebuah kantong air baginya. Dia menggantungkannya di dada dan mulai berenang, sampai ia tiba di wilayah di mana pertempuran sedang terjadi. Namun kami, berdoa kepada Allah, bahwa Ia akan memberikan kemenangan kepada sang Negus dan mengukuhkan kekuasaannya.

Sementara kami menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi, al-Zubari kembali, melambaikan bajunya dan berkata: “Kabar baik! Sang Negus menang!” Allah menghancurkan musuh-musuhnya. Demi Allah, kami tidak pernah mengalami sukacita yang demikian besar sebagaimana yang kami alami saat itu.

Sang Negus kembali dengan kemenangan, karena Allah telah menghancurkan musuh-musuhnya dan mengukuhkan kekuasaannya, sehingga seluruh Etiopia berkumpul di sekelilingya. Sepanjang hidup kami, kami mengalami masa yang paling menyenangkan di bawah naungannya sampai saat kami kembali kepada Muhammad di Mekah.”

2.05.5 -- Kemarahan Suku Abysinnia terhadap Negus

Ja‘far ibn Muhammad menjelaskan apa yang ia dengar dari ayahnya: “Suatu hari suku Etiopia berkumpul bersama dan menuduh sang Negus: “Engkau telah meninggalkan iman kita!’ Sang Negus mengirim utusan kepada Ja’far dan pengikutnya, mempersiapkan sebuah kapal bagi mereka, dan mengirimkan sebuah pesan kepada mereka: ‘Naikiah kapal tersebut, dan jika aku harus melarikan diri, maka engkau juga pergilah ke mana engkau ingin pergi. Namun, jika aku menang, maka tinggallah!’ dia lalu menulis pada secarik kertas: ‘Aku menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah budaknya dan utusannya, bahwa Yesus adalah budak* dan utusan-Nya, Roh-Nya dan Firman-Nya – bahwa Ia meniup kepada Maryam.’ Dia lalu menaruh kertas berisi kalimat itu pada bagian dalam sebelah kanan dari pakaian luarnya dan bergerak maju ke arah suku Etiopia, yang telah berbaris untuk pertempuran. Dia memanggil dengan suara keras: ‘Oh engkau suku Etiopia, tidakkah aku memiliki hak tertinggi untuk memerintah atas kalian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.’ Dia lalu bertanya: ‘Bagaimana kalian melihat hidupku selama bersama-sama dengan kalian?’ Mereka menjawab: ‘Sebaik yang dimungkinkan.’ – ‘Lalu apa yang kalian inginkan?’ ‘Engkau telah meninggalkan iman kami dan memanggil Yesus seorang budak.’ – ‘Dan apa yang kalian percayai tentang Yesus?’ ‘Kami katakan, Dia adalah Putra Elohim.’

* Kepercayaan bahwa Yesus hanya seorang budak Allah bertentangan dengan pandangan dari Koptik Monophysite, yang pada saat itu lebih menekankan sisi keilahian Kristus daripada sisi kemanusiaan-Nya. Seseorang dapat melihat bagaimana pertentangan antara Arius dan Athanasius dan para pengikut mereka telah mencapai Etiopia. Hal ini juga menunjukkan sisi mana yang diambil oleh Muhammad dan orang-orang Muslim. Kadang-kadang Islam dianggap sebagai sebuah sekte Arian.

Sang Negus menaruh tagannya di atas dadanya dan berkata: “Aku bersaksi bahwa ‘Isa, Putra Maryam, tidak lebih dari ini.” Dengan hal ini dia mengatakan apa yang tertulis di dalam tulisan yang ia telah sentuh. Dengan kata-kata ini, suku Etiopia merasa puas, lalu mereka pulang. Ketika sang Negus meninggal, Muhammad berdoa doa ritual penguburan baginya di Mekah, dan memohon Allah untuk menaruh belas kasih baginya.

2.06 -- TES

Pembaca yang budiman,
Jika Anda telah mempelajari buku ini dengan seksama, Anda akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Barangsiapa yang mampu menjawab 90% pertanyaan dari 11 jilid seri ini dengan benar akan menerima sebuah sertifikat dari kantor pusat kami sebagai penghargaan atas:

Studi Lanjutan
mengenai kehidupan Muhammad di bawah terang Injil

- sebagai sebuah penyemangat untuk pelayanan bagi Kristus di masa depan.

  1. Bagaimana Muhammad menengahi perselisihan yang terjadi di antara suku Quraish yang tidak saling mengenal dan saling membenci?
  2. Ibn Hisham mengatakan bawa orang Yahudi, biarawan-biarawan Kristen dan peramal nasib Arab telah menyebut Muhammad sebelum masa pengutusannya. Bagaimana orang-orang ini memiliki pengetahuan mengenai Muhammad?
  3. Apakah yang menjadi nasib Waraqa ibn Nawfal, ‘Ubaid Allah ibn Djahsh, Uthman ibn al-Huwairith dan Zaid ibn Amr? Apa yang mengikat mereka, baik antara satu sama lain maupun kepada Muhammad?
  4. Ibn Ishaq mengklaim bahwa fitur karakteristik nama Muhamad dapat ditemukan di dalam Injil. Bagaimana hal tersebut mungkin terjadi?
  5. Apa yang dilakukan oleh Khadija ketika Muhammad memberitahunya tentang wahyu yang telah turun kepadanya?
  6. Bagaimana Khadija menguji kebenaran wahyu-wahyu Muhammad?
  7. Mengapa wahyu-wahyu Muhammad berhenti dan apa yang ia lakukan ketika wahyu-wahyu itu terhenti? Bagaimana wahyu-wahyu itu mulai turun kembali?
  8. Mengapa nama Zaid ibn Haritha diganti menjadi Zaid ibn Muhammad? Mengapa pada akhirnya ia kembali menggunakan nama aslinya?
  9. Dengan cara apa dan mengapa Abu Talib mendukung Muhammad?
  10. Suku Quraish menggambarkan Muhammad dengan empat buah sebutan. Apa sajakah sebutan-sebutan tersebut?
  11. Muhammad memberitahu orang-orang suku Quraish: “Aku datang kepadamu dengan sebuah pengorbanan.” Mengapa ia mengatakan hal tersebut?
  12. Mengapa ‘Utba ibn Rabi‘a bernegosiasi dengan Muhammad?
  13. Orang-orang Yahudi menyarankan suku Quraish untuk menanyakan tiga hal kepada Muhammad guna memastikan kebenaran akan kenabian Muhammad. Apakah ketiga hal tersebut? Apakah yang menjadi jawaban Muhammad?
  14. Ibn Hisham mengatakan orang yang pertama membacakan Quran di Mekah adalah Abdallah ibn Mas‘ud. Mengapa kalifah Uthman ibn Affan menolak untuk menerima Quran versi Abdallah Ibn Mas‘ud?
  15. Mengapa Muslim permulaan bermigrasi ke Etiopia? Mengapa mereka kembali dari sana?
  16. Apa yang menjadi perselisihan antara pengungsi Muslim dan Negus? Apa yang dikatakan para pengungsi tentang Kristus?

Setiap peserta yang mengambil bagian dalam tes ini diijinkan untuk memanfaatkan buku yang tersedia atapun bertanya kepada orang yang ia percaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kami menantikan jawaban tertulis anda, termasuk alamat lengkap Anda pada selembar kertas atau e-mail. Kami berdoa kepada Yesus, Tuhan yang hidup, bagi Anda, bahwa Ia akan memanggil, memimpin, menguatkan, memelihara dan menyertai anda setiap hari dalam kehidupan anda!

Dalam persatuan dengan Anda dalam pelayanan untuk Yesus,
Abd al-Masih dan Salam Falaki.

Kirimkanlah jawaban Anda ke:
GRACE AND TRUTH
POBox 1806
70708 Fellbach
Germany

Atau melalui e-mail ke:
info@grace-and-truth.net

www.Grace-and-Truth.net

Page last modified on December 03, 2018, at 02:08 PM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)